Sejarah Syekh Abdul Jalil (Sembah Dalem Lebe Warta Kusumah) Kampung Dukuh
SEJARAH SYEKH ABDUL JALIL (SEMBAH DALEM LEBE WARTA KUSUMAH)
Kampung Dukuh konon didirikan oleh Syeikh Abdul Jalil . Seorang ulama dari Sumedang di era kekuasaan Bupati Pangeran Rangga Gempol III / Pangeran Panembahan (1656 – 1706 M). Karena kecewa akan janji Bupati untuk menerapkan syariat Islam di tatar Sumedang yang tak pernah terlaksana (maksudnya untuk menghindari perseteruan dengan Kasultanan Banten), akhirnya dia mengasingkan diri ke Kampung Dukuh Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut.
Disitulah Syekh Abdul Jalil membuka Kampung Dukuh berikut adat-istiadatnya. Makamnya terletak di atas pebukitan di sisi timur Kampung Dukuh.
Kala itu, Syeikh Abdul Jalil, menimba ilmu di tanah suci Mekkah. Setelah ilmunya cukup, gurunya meminta agar Syeikh Abdul Jalil pulang ke kampung halamannya. Namun Syeikh Abdul Jalil keberatan, dengan alasan ingin menghabiskan sisa hidupnya di Makkah. Guru Syeikh maklum dengan itikad baik muridnya. Namun ia tetap berharap supaya muridnya itu kembali ke tanah air.
Untuk itu, beliau memberinya segenggam tanah dan sekendi air suci dari Mekkah. Syeikh Abdul Jalil merupakan sosok yang taat dan patuh terhadap gurunya. Dan pada akhirnya, Syeikh Abdul Jalil pun menerima semua permintaan gurunya. Selanjutnya, sang guru berpesan supaya tanah tersebut ditaburkan di tempat yang dianggap cocok dengan nuraninya, sementara air di dalam kendi di tanam di tanah tersebut. Syaikh Abdul Jalil menyetujui, lalu ia kembali ke Mataram.
Pada suatu waktu, di Daerah Sumedang yang saat itu diperintah oleh penguasa bernama Pangeran Rangga Gempol III / Pangeran Panembahan (1656 – 1706 M) sedang membutuhkan seorang penghulu. Bahkan Pangeran Rangga Gempol III sampai mengirim utusan hingga ke Mataram. Oleh penguasa Mataram, ditunjuklah Syaikh Abdul Jalil untuk menjadi penghulu di Daerah Sumedang. Syeikh Abdul Jalil bersedia menjadi penghulu di Sumedang, namun dengan satu permintaan. yaitu agar Bupati dan rakyatnya bersatu padu dan saling bahu membahu dan tidak boleh melanggar aturan hukum dan sara’ (Al Quran dan Al Hadist).
Syarat itu pun disanggupi oleh Rangga Gempol. Setelah Syeikh Abdul Djalil menjabat sebagai penghulu selama 12 atahun, ia berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji dan Pangeran Rangga Gempol III mengijinkan. Ketika Syeikh Abdul Jalil sedang berada di tanah suci Mekkah, penguasa Sumedang kedatangan utusan dari Banten dengan maksud meminta agar penguasa Sumedang tidak mengabdi ke Mataram melainkan mengabdi ke Banten.
Mendengar keinginan dua utusan dari Banten itu, Pangeran Rangga Gempol III tidak langsung memutus. Namun ia minta waktu untuk mempertimbangkan. Selanjutnya, kedua utusan itu pun kembali ke Banten. Namun ketika berada di daerah Parakan Muncang, keduanya dibunuh atas perintah penguasa Sumedang, dengan alasan jika dibiarkan hidup dan tiba di Banten, dikhawatirkan akan terjadi hruu-hara di Sumedang.
Setelah sekian lama di Mekkah, Syeikh Abdul Jalil kembali ke tatar Sumedang. Namun, kejadian kedatangan dan pembunuhan atas utusan dari Banten ditutup-tutupi agar tidak diketahui Syeikh Abdul Jalil. Namun informasi tersebut akhirnya diketahui juga lewat seorang tangna kanannya yang bernama Sutawijaya. Mendengar laporan itu, Syeikh Abdul Jjalil marah dan saat itu juga ia mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai penghulu.
Selama itu, Syeikh Abdul Djalil terus berdoa agar ditunjukkan sebuah tempat yang cocok untuk dijadikan tempat tinggalnya. Kemudian Syeikh Abdul Jalil mengembara lagi ke daerah Tonjong Cisanggiri (di Tonjong di Majalengka, bukan di Pameungpeuk dan disini ada Pasantren Tua, keterangan dari Kang Asep Sulaiman Fadil dari Musium Sumedang).
Di tempat ini, Syeikh Abdul Jjalil menetap kurang lebih 1,5 tahun. Tepat pada hari Jumat Kliwon, 12 Mulud tahun Alif, Syeikh Abdul Jalil melihat cahaya terang yang menyorot dari dalam tanah kira-kira sebesar pohon kawung (aren).
Selanjutnya ia pergi dari Sumedang dan mengembara ke daerah Batuwangi Singajaya Garut dan menetap selama kurang lebih 3,5 tahun, hingga bertemu dengan sepasang suami istri yang sedang berladang. Belakangan diketahui bahwa peladang bernama Aki Chandra dan Nini Chandra yang berasal dari Cidamar Cianjur. Konon tempat itulah yang kemudian menjadi Kampung Adat Dukuh.
Ketika Syeikh Abdul Jalil datang, keduanya langsung menyerahkan tempat tersebut. Selanjutya, Nini dan Aki Chandra kembali ke daerah asalnya di Cidamar, Cianjur. Penduduk Cidamar sangat menyayangkan sikap Aki dan Nini Chandra yang kembali ke kampung halaman. Seharusnya, Aki dan Nini Chandra tetap tinggal di tempat itu dan menimba ilmu dari Syeikh Abdul Jalil. Rupanya, saran penduduk Cidamar itu bisa diterima. Mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke tempat itu. Namun di tengah perjalanan, Aki dan Nini Chandra meninggal dunia dan dimakamkan di Palawa Chandra Pamulang.
LEBE WARTA KUSUMAH (SYEKH ABDUL JALIL) KAMPUNG DUKUH KECAMATAN PAMEUNGPEUK KABUPATEN GARUT, AYAH DARI SYEKH ABDUL MUHYI PAMIJAHAN
Syekh Abdul Muhyi, di dalam silsilah keturunan Bupati Sukapura, Raden Yudanegara I ini disebutkan sebagai keturunan kedua Raden Tumenggung Anggadipa Wiradadaha III dan cucu Raden Adipati Wirawangsa Wiradadaha I, Bupati Sukapurayang memerintah pada paruh pertama abad XVII.
Abdul Muhyi, Syeikh Haji (Mataram, Lombok, 1071 H/1650 M Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat 1151 H/1730 M). Ulama tarekat Syattariah didalam naskah Kitab Istiqlal Thariqah Qadariyah Naqsabandiyah juga disebutkan bahwa ada tiga guru tarekat yang diwarisi tasawuf Pamijahan yaitu : Syekh Abdul Qadir Jaelani, Syekh Abdul Jabbar dan Syekh Abdul Rauf Singkel. Apabila Syekh Abdul Qadir Jaelani disebut sebagai ‘wali awal’, maka Syekh Abdul Muhyi dianggap sebagai ‘wali penutup’. Kedudukan ini memang dibuktikan oleh kenyataan bahwa setelah wafatnya, keturunan Syekh Abdul Muhyi tidak lagi menggunakan gelar Syekh. Istilah ‘wali penutup’ memang menjadi pertanyaan, sebab dalam sejarah Islam wali akan tetap ada setiap zaman, tetapi hanya para ‘wali’ yang mengetahui keberadaan seorang ‘wali’.
Sebagai keturunan raja, tidak banyak disebutkan dalam Kitab Istiqlal Thariqah Qadariyah Naqsabandiyah perihal garis silsilah bapak, tetapi dijelaskan di dalam naskah lain yang disebut Sejarah Sukapura, yaitu dari Ratu Galuh. Ayah Syekh Abdul Muhyi yang bernama Lebe Warta Kusumah.
Perkawinan Lebe Warta Kusumah (Syekh Abdul Jalil) dengan Sembah Ajeng Tangan Ziah melahirkan dua orang anak :
1. Syekh Abdul Muhyi
2. Nyai Kodrat (menjadi isteri Syekh Khotib Muwahid).
Dari Syekh Khotib Muwahid ini Syekh Abdul Muhyi mempunyai hubungan kekerabatan tidak langsung dengan Sultan Pajang, Pangeran Adiwijaya (Jaka Tingkir), karena yang terakhir ini merupakan leluhur Sembah Khotib Muwahid.
Silsilah Bupati Sukapura menurut naskah Leiden Cod. Or. 7445 secara Genealogi dimulai dari empat orang isteri Syekh Abdul Muhyi, itupun terutama dari isteri yang pertama (Sembah Ayu Bakta) sebagai leluhur para bupati Sukapura dari pihak ibu, adalah putri dari Sembah Dalem Sacaparana.
Selain itu, R. Ajeng Halimah atau disebut juga Ayu Salamah, putri ketiga dari Raden Tumenggung Anggadipa Wiradadaha III, penguasa Sukapura (Tasikmalaya) waktu itu, dan juga adik bungsu dari Raden Yudanagara I, adalah juga salah seorang istri Syekh Abdul Muhyi.
1. Syekh Abdul Muhyi
2. Sembah Dalem Bojong
3. Sembah Eyang Samadien
4. Sembah Eyang Asmadien
5. Sembah Eyang Zainal Arif
6. Embah Ta’limudin KH. Marjuki (Mama Prabu Cigondewah)
Catatan : Versi Mama Eyang Adroi Cigondewah
APA SEBAB SYEKH ABDUL JALIL HIJRAH KE KAMPUNG DUKUH, SEWAKTU MENJADI KEPALA PENGHULU DI SUMEDANG KE KAMPUNG DUKUH?
Sejarah Sukapura
Kanjeng Sunan Seda Krapyak atau Sultan Jolang (Sultan Mataram II) mempunyai putera bernama Pangeran Kusuma Diningrat, pada masa itu karena belum ada sekolah seperti sekarang maka orang yang ingin mendapat pengetahuan pada umumnya melakukan pengembaraan dengan tujuan untuk menjadi pimpinan yang bijaksana, pada akhirnya Pangeran Kusuma Diningrat sampai di tanah Sunda (Priangan) di kampung Cibadak / Badak Paeh Kecamatan Singaparna sekarang.
Setelah menetap beberapa lama mempunyai istri yang bernama R.A. Sudarsah, puteri Rangga Gempol I Kusumahdinata III (Raden Aria Soeriadiwangsa II), Bupati Sumedang pertama putra Pangeran Geusan Ulun Sumedang dan kemudian mempunyai 5 putera dimana putera yang terakhir bernama Sareupeun Cibuni Ageung.
Sareupeun Cibuni Ageung mempunyai putera bernama Raden Wiraha yang menjadi Umbul di Sukakerta dan beristri Nyai Ageung, puteri dari Sareupeun Sukakerta yang ibunya adalah keturunan Galuh (Imbanegara).
Raden Wiraha berputra 5 orang yaitu :
1. Raden Wirawangsa;
2. Raden Astawangsa;
3. Raden Pranawangsa;
4. Raden Narahita;
5. Raden Bagus Chalipah
Kemudian Rd. Wirawangsa alias Tumenggung Wirawangsa alias Rd. Tumenggung Wiradadaha diangkat menjadi Bupati Sukapura pertama dengan gelar : Raden Tumenggung Wiradadaha, gelar yang diberikan Sultan Agung Mataram kepada putra Raden Wiraha yang pertama Raden Ngabehi Wirawangsa Bupati Sukapura Pertama (sekarang kota Tasikmalaya), karena berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur tahun 1632. Selain Rd. Wirawangsa dijadikan Bupati, negara serta isinya diberi kemerdekaan. Pada saat pelantikan, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha Ke I.
Tidak lama kemudian dari semenjak menjadi Bupati, negaranya dipindahkan ke pelataran yang cocok untuk tempat tinggal Ratu yang bernama Sukapura tempatnya di Leuwi Lowa Kecamatan Sukaraja. Suka atau Soka yang artinya Tiang, Pura adalah Keraton. Dari sinilah mulainya Bupati Sukapura yang pertama.
Yang dapat menggembirakan hati Kanjeng Bupati bukan sekedar kabupaten saja namun terlebih lagi adalah negara (Sukapura) dengan isinya dimerdekakan oleh Kanjeng Sultan Agung hingga tujuh turunan.
Dengan kemerdekaan ini, rakyat tidak perlu membayar upeti setiap tahun kepada Mataram, sehingga tidak memberatkan rakyat.
Wilayah yang dimerdekakan berjumlah 12 yaitu : Sukakerta, Pagerbumi serta Cijulang, Mandala dan Kelapa Genep, Cipinaha dan Lingga Sari, Cigugur, Parakan Tiga (Pameungpeuk) dan Maroko, Parung, Karang, Bojongeureun, Suci, Panembong (Garut), Cisalak, Nagara, dan Cidamar.
Sepertinya Kanjeng Sultan Agung belumlah merasa cukup membalas budi kesetiaan Kanjeng Bupati, maka oleh beliau selain ke 12 wilayah diatas, diberikan tambahan 3 wilayah lagi dari 9 wilayah yang disita dari Dipati Ukur, wilayah tersebut adalah : Saunggantang, Taraju dan Malangbong.
Jumlah 15 wilayah tersebut terdiri dari 300 desa dengan 890 kepala keluarga yang diperkirakan masing-masing mempunyai 5 anggota keluarga. Selain dari itu Kanjeng Bupati tidak habis-habisnya dihormati meskipun oleh masyarakat yang tidak termasuk dalam wilayahnya.
Pengangkatan tersebut dinyatakan dalam piagem bertitimangsa 9 Muharam Tahun Alip.
PIAGAM PENGANGKATAN BUPATI SUKAPURA, BANDUNG DAN PARAKANMUNCANG DARI SULTAN AGUNG
Pengetsrat piagem *)
Ingsoen Soeltan Mataram kagadoeh dening ki ngabehi Wirawangsa kang prasatja maring ingsoen, soen djenengaken mantri agoeng toemenggoeng Wira-dadaha Soekapoera, toemenggoeng Wirangoenangoen Bandoeng, Tanoebaja Prakanmoentjang, kang sami prasatja maring ingsoen.
Angadeg kandjeng soeltan angroewat kang tengen angandika dén pada soeka wong agoeng sadaja, asoerak pitoeng pangkattan sarta angliliraken gamelan; lan pasihan ratoe kampoeh belongsong ratna koemambang, doehoeng sampana kinjeng, lan rasoekan, lan kandaga, lan lantéh, lan pajoeng-bawat, lan titihan, sarta titijang, kawoelaning ratoe, wedana kalih welas desané wong tigang atoes, dén perdikakaken déning wong agoeng Mataram, kang kalebetaken ing srat Panembahan Tjirebon, pangéran Kaloran, pangéran Balitar, pangéran Madioen, panembahan Soeriabaija, papatih Mataram sekawan, toemenggoeng Wiragoena, toemenggoeng Tanpasisingan, lan toemenggong Saloran, toemenggoeng Singaranoe.
Kala anoerat ing dina saptoe tanggal ping sanga woelan Moeharam taoen alip, kang anoerat abdining ratoe, poen tjarik.
Terjemahan :
Piagam dari kami sultan Mataram diberikan kepada Ki Ngabéhi Wirawangsa yang setia kepada kami, diangkat menjadi Mantri Agung Tumenggung Wiradadaha (untuk) Sukapura, Tumenggung Wiraangunangun (untuk) Bandung, Tanubaya (untuk) Parakanmuncang, yang sama-sama setia kepada kami.
Berdirilah kangjeng sultan dan mengangkat tangan kanan (sambil) bersabda, semua pembesar bergembira lah, bersorak tujuh kali dan bunyikan gamelan; dan raja memberikan pakaian kebesaran berhiaskan ratna kumambang, keris berpamor capung, pakaian, kotak kebesaran, tikar, payung-bawat (payung kebesaran), kuda tunggang, dan abdi dalem, 12 wedana dan desa dengan penduduk 300 orang dibebaskan dari kewajiban terhadap pembesar Mataram, seperti yang ditetapkan dalam surat (piagam) Panembahan Cirebon, Pangéran Kaloran, Pangéran Balitar, Pangéran Madiun, Panembahan Surabaya, empat patih Mataram, (yaitu) Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Tanpasisingan, Tumenggung Saloran, dan Tumenggung Singaranu.
Ditulis pada hari Sabtu tanggal 9 bulan Muharam tahun Alip, yang menulis abdi raja, jurutulis.
*) Dikutif dari K.F. Holle, “Bijdragen tot de Geschiedenis der Preanger-Regentschappen”,
Post a Comment