Napak Tilas Kerajaan Sumedang Larang
Pendahahuluan
Sumedang memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang. Berdasarkan data kesejarahannya, sebelum Indonesia merdeka, wilayah Sumedang pernah mengalami zaman prasejarah, zaman sejarah Sumedang kuno, zaman Kerajaan Sumedang Larang (1580-1620), zaman pengaruh Mataram (1620-1677), zaman Kompeni (1677-1799), zaman Pemerintah Hindia Belanda (1808-1942), zaman Pendudukan Jepang (1942-1945).
Sejak zaman Kerajaan Sumedanglarang sampai dengan zaman Pendudukan Jepang, tercatat ada 29 penguasa (raja dan bupati). Tiap zaman pemerintahan penguasa-penguasa itu meninggalkan jejak-jejak sejarahnya, baik berupa artefak (fakta berupa benda-benda) dan mentifak (fakta mental), maupun sosiefak (fakta sosial). Dari waktu ke waktu fakta-fakta itu mengakumulasi menjadi memori kolektif dan sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat daerah setempat.
Oleh karena itu, sisi apa pun dari masa lampau wilayah Sumedang, dalam besarannya masing-masing, memiliki makna penting bagi masyarakatnya, bahkan sebagian darinya masih cukup fungsional, sehingga keberadaan fakta-fakta masa silam itu terus dipelihara dan diabadikan. Salah satu jejak manusia masa lampau di daerah Sumedang adalah tempat-tempat yang termasuk kategori situs sejarah budaya di daerah Sumedang adalah tempat-tempat yang termasuk kategori situs sejarah budaya. Situs-situs itu terdapat di daerah Jatigede dan sekitarnya. Situs-situs itu, sebagian besar berupa makam sampai sekarang masih sering diziarahi oleh masyarakat, baik yang berasal dari Sumedang maupun dari luar Sumedang. Masyarakat Sumedang umumnya dan para peziarah khususnya percaya, bahwa situs-situs itu merupakan tempat keramat. Sementara itu, di kalangan masyarakat Sumedang masih biasa diselenggarakan aneka ragam acara dan upacara adat, yang secara kultural dan historis mengacu ke masa silam Sumedang.
Salah satu kecamatan yang banyak memiliki situs sejarah adalah Kecamatan Darmaraja. Ada anggapan bahwa masa lalu Sumedang adalah Darmaraja, karena tempat tersebut diduga pernah jadi pusat pemerintahan Kerajaan Tembong Agung dan Sumedanglarang.
Penelusuran kembali “napak tilas/nyukcruk galur” jejak-jejak kehidupan masa lampau terutama masa kerajaan sepenuhnya tergantung pada tinggalan budaya baik itu berupa artefak maupun situs-situs yang ada. Sumedang bagian dari Tatar Sunda barang tentunya memilki kekayaan budaya yang beragam khususnya berupa peninggal-peninggalan masa lampau.
Keberadaan kerajaan-kerajaan di Sumedang sudah tercatat dalam berbagai kitab kuno seperti Carita Parahiyangan dan Catatan Bujangga Manik (1473). Selain itu mengenai raja-raja Sumedang tercatat pula di kitab Waruga Jagat, Carita Ratu Pakuan, Pustaka Rajya-Rajya I Bhuni Nusantara Parwa III Sarga 2 (1682), Kropak 410 dan Pustaka Nagara Kretabhumi Parwa I Sarga 2 (1694).
Dalam Carita Parahiyangan bahwa sekitar kaki Gunung Tompo Omas (Tampomas) terdapat sebuah kerajaan yang bernama Medang Kahiyangan 252 – 290 (+ terletak di antara Kec. Conggeang dan Kec. Buah Dua).
Raja-raja Medang Kahiyangan merupakan keturunan Raja Salakanagara ke lima dari Prabu Dharma Satya Jaya Waruna Dewawarman (251 – 289) menantu Dewawarman IV, sangat disayangkan catatan sejarah Kerajaan Medang Kahiyangan hampir tidak banyak diceritakan dalam Carita Parahiyangan, sedangkan peninggalan masa Medang Kahiyangan banyak tersebar di Gunung Tampomas.
Dan dalam catatan Bujangga Manik disebutkan pula bahwa sekitar daerah Cipameungpeuk terdapat sebuah Kerajaan bernama Sumedanglarang. Selain terdapat kedua kerajaan tersebut, di sebelah selatan Sumedang pun terdapat kerajaan yang bernama Medang Sasigar pada abad ke-17 yang terletak diantara Bandung dan Parakanmuncang.
Sumedang memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang. Berdasarkan data kesejarahannya, sebelum Indonesia merdeka, wilayah Sumedang pernah mengalami zaman prasejarah, zaman sejarah Sumedang kuno, zaman Kerajaan Sumedang Larang (1580-1620), zaman pengaruh Mataram (1620-1677), zaman Kompeni (1677-1799), zaman Pemerintah Hindia Belanda (1808-1942), zaman Pendudukan Jepang (1942-1945).
Sejak zaman Kerajaan Sumedanglarang sampai dengan zaman Pendudukan Jepang, tercatat ada 29 penguasa (raja dan bupati). Tiap zaman pemerintahan penguasa-penguasa itu meninggalkan jejak-jejak sejarahnya, baik berupa artefak (fakta berupa benda-benda) dan mentifak (fakta mental), maupun sosiefak (fakta sosial). Dari waktu ke waktu fakta-fakta itu mengakumulasi menjadi memori kolektif dan sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat daerah setempat.
Oleh karena itu, sisi apa pun dari masa lampau wilayah Sumedang, dalam besarannya masing-masing, memiliki makna penting bagi masyarakatnya, bahkan sebagian darinya masih cukup fungsional, sehingga keberadaan fakta-fakta masa silam itu terus dipelihara dan diabadikan. Salah satu jejak manusia masa lampau di daerah Sumedang adalah tempat-tempat yang termasuk kategori situs sejarah budaya di daerah Sumedang adalah tempat-tempat yang termasuk kategori situs sejarah budaya. Situs-situs itu terdapat di daerah Jatigede dan sekitarnya. Situs-situs itu, sebagian besar berupa makam sampai sekarang masih sering diziarahi oleh masyarakat, baik yang berasal dari Sumedang maupun dari luar Sumedang. Masyarakat Sumedang umumnya dan para peziarah khususnya percaya, bahwa situs-situs itu merupakan tempat keramat. Sementara itu, di kalangan masyarakat Sumedang masih biasa diselenggarakan aneka ragam acara dan upacara adat, yang secara kultural dan historis mengacu ke masa silam Sumedang.
Salah satu kecamatan yang banyak memiliki situs sejarah adalah Kecamatan Darmaraja. Ada anggapan bahwa masa lalu Sumedang adalah Darmaraja, karena tempat tersebut diduga pernah jadi pusat pemerintahan Kerajaan Tembong Agung dan Sumedanglarang.
Penelusuran kembali “napak tilas/nyukcruk galur” jejak-jejak kehidupan masa lampau terutama masa kerajaan sepenuhnya tergantung pada tinggalan budaya baik itu berupa artefak maupun situs-situs yang ada. Sumedang bagian dari Tatar Sunda barang tentunya memilki kekayaan budaya yang beragam khususnya berupa peninggal-peninggalan masa lampau.
Keberadaan kerajaan-kerajaan di Sumedang sudah tercatat dalam berbagai kitab kuno seperti Carita Parahiyangan dan Catatan Bujangga Manik (1473). Selain itu mengenai raja-raja Sumedang tercatat pula di kitab Waruga Jagat, Carita Ratu Pakuan, Pustaka Rajya-Rajya I Bhuni Nusantara Parwa III Sarga 2 (1682), Kropak 410 dan Pustaka Nagara Kretabhumi Parwa I Sarga 2 (1694).
Dalam Carita Parahiyangan bahwa sekitar kaki Gunung Tompo Omas (Tampomas) terdapat sebuah kerajaan yang bernama Medang Kahiyangan 252 – 290 (+ terletak di antara Kec. Conggeang dan Kec. Buah Dua).
Raja-raja Medang Kahiyangan merupakan keturunan Raja Salakanagara ke lima dari Prabu Dharma Satya Jaya Waruna Dewawarman (251 – 289) menantu Dewawarman IV, sangat disayangkan catatan sejarah Kerajaan Medang Kahiyangan hampir tidak banyak diceritakan dalam Carita Parahiyangan, sedangkan peninggalan masa Medang Kahiyangan banyak tersebar di Gunung Tampomas.
Situs Puncak Manik Gunung Tampomas |
Dan dalam catatan Bujangga Manik disebutkan pula bahwa sekitar daerah Cipameungpeuk terdapat sebuah Kerajaan bernama Sumedanglarang. Selain terdapat kedua kerajaan tersebut, di sebelah selatan Sumedang pun terdapat kerajaan yang bernama Medang Sasigar pada abad ke-17 yang terletak diantara Bandung dan Parakanmuncang.
Dari semua kerajaaan tersebut Sumedanglarang yang lebih menonjol dalam lintasan sejarah Sumedang, dalam perkembangannya Sumedang membujur dari timur ke barat dari Citembong Agung Girang sampai Regol Wetan. Dari peninggalan tersebut banyak mitoslogi / historiografi tradisional yang berkembang di masyarakat Sumedang.
Awal keberadaan Sumedanglarang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Kerajaan Galuh. Setelah Kandiawan atau Rajaresi Dewaraja (597 – 612) Raja Kendan ketiga mengundurkan diri dari tahta Kerajaan Kendan, lalu menjadi Resi di Layuwatang daerah Kuningan. Sebagai penggantinya ia menunjuk puteranya yaitu Wretikandayun yang waktu itu menjadi Rajaresi di Menir.
Wretikandayun (612 – 702) dinobatkan sebagai raja Kendan pada tanggal 14 bagian terang bulan Caitra tahun 534 Saka atau 23 Maret 612 M. Ketika dinobatkan Wretikandayun berusia 21 tahun. Setelah dinobatkan sebagai raja Wretikandayun mendirikan Ibukota baru yang diberi nama Galuh (permata) yang terletak diantara dua sungai yaitu Citanduy dan Cimuntur. Wretikandayun menikah dengan puteri Resi Makandria yang bernama Manawati setelah menjadi permaisuri bergelar Candraresmi. Dari pernikahan tersebut Wretikandayun mempunyai tiga orang putera, yaitu Sempakwaja (620), Jantaka (622) dan Amara/ Mandiminyak (624).
Sempakwaja mempunyai dua orang putera, yaitu Purbasora (643) dan Demunawan (646) yang kelak menurunkan raja-raja kerajaan Sunda, sedangkan Jantaka dikenal sebagai Resiguru di Denuh atau dikenal pula sebagai Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul, mempunyai seorang putera yaitu Aria Bimaraksa yang lahir + tahun 653, yang kemudian jadi Patih Galuh pada masa pemerintahan Prabu Purbasora. Aria Bimaraksa dikenal pula sebagai Ki Balangantrang, setelah pensiun dari Patih Galuh dikenal sebagai Sanghyang Resi Agung yang kemudian menurunkan raja-raja Sumedanglarang, dan putera bungsu Wretikandayun yang bernama Amara/Mandiminyak yang merupakan putera mahkota kerajaan Galuh kelak menurunkan raja-raja di tanah Jawa.
Ratu Komalasari (Sunan Pancer) Ibunya Prabu Aji Putih
Cipancar berdiri sekitar abad ke 7-8 M. Salah satu kampung buhun (kampung tua) yang ada di Sumedang karena Cipancar berdiri lebih dulu dari Kota Sumedang.
Pada saat itu Kerajaan Galuh Pakuon yang berlokasi Di Garut di mana sang Raja hendak menurunkan tahta kepada anaknya yang bernama Purbasora terjadilah kudeta (perebutan kekuasaan di antara keluarga). Dari kudeta itu terjadi perang bersaudara yang membuat Purbasora terdesak. Akhirnya Purbasora bersama ketiga putranya yang masing-masing bernama Prabu Wijaya Kusuma, Wiradi Kusuma (Sunan Pameres) dan Ratu Komalasari (Sunan Pancer) disertai Jaksa Wiragati harus lari meninggalkan Galuh yang tengah kacau.
Pada saat itu di Cipancar memang sudah ada sedikit penghuni namun daerahnya belum memiliki nama. Kebetulan pada saat pertama kali Purbasora menjejakkan kaki di daerah itu, muncul mata air yang entah dari mana mengalir deras. Dengan spontan Purbasora berkata, "Cipancar,... Cipancar," yang berarti air memancar.
Sebutan itulah yang sampai saat ini menjadi nama bagi desa Cipancar. Purbasora dan ketiga anaknya menanami Cipancar dengan benih padi yang dibawa dari Galuh Pakuon. Hasil panen itu dibagikan kepada masyarakat.
Maka dari itu kita mengetahui bahwa terbentuknya Desa Cipancar sangat erat kaitannya dengan kudeta yang terjadi di Galuh Pakuon. Nama Cipancar sendiri diambil dari perkataan Purbasora yang berarti air memancar.
Mitos yang berkaitan dengan Budaya, di Desa Cipancar terdapat keyakinan terkait nama binatang. Di Desa Cipancar ada larangan untuk menyebutkan nama Ucing (Kucing). Sebagai gantinya bisa menggunakan nama Enyeng. Selain tidak boleh menyebutkan nama Ucing. Warga masyarakat Desa Cipancar juga, tidak boleh mempergelarkan pertunjukan seni Wayang Golek dan menabuh Goong.
Larangan menggelarkan pertunjukan wayang seperti halnya di Cipaku Darmaraja dikarenakan, di dalam buku Pakuning Alam Darmaraja tercatat merupakan amanat buyut/ pantangan, yaitu :
Di Darmaraja teu kenging Nanggap WAYANG....sabab nu bakal ngawayangkeunnana GALAH, GALUH jeung GALIHNA. Lamun aya umat nu maksa, teu nurut pepeling kami, harta bandana kudu ancur, badana tangtu sangsara, di CIKEUSI, di CIMARGA, di PANIIS, di CIPAKU heunteu meunang nanggap wayang, sanajan nepi ka ahir. (Buku Pakuning Alam Kadarmarajaan Sumedang)
Artinya :
Di Darmaraja tidak boleh mengadakan pagelaran Wayang, sebab yang akan memainkannya Wayangnya Galah, Galuh dan Galinya. Kalau ada manusia yang memaksa, tidak menurut amanat buyut harta bendanya akan habis dan sengsara di Cikeusi, di Cimarga, di Paniis, di Cipaku, tidak boleh mengadakan pagelaran Wayang, sampai jaman seterusnya.
Ratu Komalasari bin Purbasora bin Sempakwaja bin Wretikendanyun atau Sunan Pancer adalah istrinya Aria Bima Raksa (Resi Agung).
Pada saat itu Kerajaan Galuh Pakuon yang berlokasi Di Garut di mana sang Raja hendak menurunkan tahta kepada anaknya yang bernama Purbasora terjadilah kudeta (perebutan kekuasaan di antara keluarga). Dari kudeta itu terjadi perang bersaudara yang membuat Purbasora terdesak. Akhirnya Purbasora bersama ketiga putranya yang masing-masing bernama Prabu Wijaya Kusuma, Wiradi Kusuma (Sunan Pameres) dan Ratu Komalasari (Sunan Pancer) disertai Jaksa Wiragati harus lari meninggalkan Galuh yang tengah kacau.
Pada saat itu di Cipancar memang sudah ada sedikit penghuni namun daerahnya belum memiliki nama. Kebetulan pada saat pertama kali Purbasora menjejakkan kaki di daerah itu, muncul mata air yang entah dari mana mengalir deras. Dengan spontan Purbasora berkata, "Cipancar,... Cipancar," yang berarti air memancar.
Sebutan itulah yang sampai saat ini menjadi nama bagi desa Cipancar. Purbasora dan ketiga anaknya menanami Cipancar dengan benih padi yang dibawa dari Galuh Pakuon. Hasil panen itu dibagikan kepada masyarakat.
Maka dari itu kita mengetahui bahwa terbentuknya Desa Cipancar sangat erat kaitannya dengan kudeta yang terjadi di Galuh Pakuon. Nama Cipancar sendiri diambil dari perkataan Purbasora yang berarti air memancar.
Mitos yang berkaitan dengan Budaya, di Desa Cipancar terdapat keyakinan terkait nama binatang. Di Desa Cipancar ada larangan untuk menyebutkan nama Ucing (Kucing). Sebagai gantinya bisa menggunakan nama Enyeng. Selain tidak boleh menyebutkan nama Ucing. Warga masyarakat Desa Cipancar juga, tidak boleh mempergelarkan pertunjukan seni Wayang Golek dan menabuh Goong.
Larangan menggelarkan pertunjukan wayang seperti halnya di Cipaku Darmaraja dikarenakan, di dalam buku Pakuning Alam Darmaraja tercatat merupakan amanat buyut/ pantangan, yaitu :
Di Darmaraja teu kenging Nanggap WAYANG....sabab nu bakal ngawayangkeunnana GALAH, GALUH jeung GALIHNA. Lamun aya umat nu maksa, teu nurut pepeling kami, harta bandana kudu ancur, badana tangtu sangsara, di CIKEUSI, di CIMARGA, di PANIIS, di CIPAKU heunteu meunang nanggap wayang, sanajan nepi ka ahir. (Buku Pakuning Alam Kadarmarajaan Sumedang)
Artinya :
Di Darmaraja tidak boleh mengadakan pagelaran Wayang, sebab yang akan memainkannya Wayangnya Galah, Galuh dan Galinya. Kalau ada manusia yang memaksa, tidak menurut amanat buyut harta bendanya akan habis dan sengsara di Cikeusi, di Cimarga, di Paniis, di Cipaku, tidak boleh mengadakan pagelaran Wayang, sampai jaman seterusnya.
Ratu Komalasari bin Purbasora bin Sempakwaja bin Wretikendanyun atau Sunan Pancer adalah istrinya Aria Bima Raksa (Resi Agung).
Beliau adalah Ibunya Raja "Tembong Agung" Prabu Aji Putih, yang menurunkan para raja kerajaan Tembong Agung dan Sumedanglarang. Seperti kata Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy :
Hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana mangke
aya ma beuheula aya tu ayeuna
hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna
hana tunggak hana watang
tan hana tunggak tan hana watang
hana ma tunggulna aya tu catangna
Artinya : Ada dahulu ada sekarang
bila tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang
karena ada masa silam maka ada masa kini
bila tidak ada masa silam tidak akan ada masa kini
ada tonggak tentu ada batang
bila tidak ada tonggak tidak akan ada batang
bila ada tunggulnya tentu ada catangnya
Makam Ratu Komalasari (Eyang Pancer), Ibunya Prabu Aji Putih Di Pemakaman Umum Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan |
Berdasarkan informasi catatan sejarah Cipancar sewaktu kecil prabu Aji Putih tinggal dulu bersama ibu bapaknya dan juga uwaknya Raden Wiradikusuma (Sunan Pameres), cuma setelah itu suaminya Arya Bimaraksa (Resi Agung) dan putranya mulai mendirikan padepokan di Citembong Agung Girang Kecamatan Ganeas, yang kemudian pindah ke Kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja, yang akhir menjadi kerajaan pertama "Tembong Agung".
Sedangkan istrinya Dewi Komalasari (Sunan Pancer) dan kakaknya Wira Dikusuma (Sunan Pameres) kembali ke desa Cipancar di padepokan asal bersama para pembantu/ponggawanya di tempat ini.
Konon daerah yang dipakai pemakaman umum Cipancar sekarang ini dulunya adalah tempat berlatih ilmu kanuragan, dengan bekas-bekas batu tatapakan bekas kaki yang ada di tempat pemakaman ini.
Permana Dikusumah atau Sidik Permana Ajar Padang atau Ki Adjar Padang, yaitu ayahanda dari Prabu Ciung Wanara yang memerintah kerajaan Galuh, kemudian turun tahta dan beliau menjadi resi (situsnya juga ada di Gunung Padang Darmaraja).
Prabu Ciung Wanara (Raden Suratoma) yang menurunkan para raja kerajaan Pajajaran juga diurus semasa kecil oleh kakeknya Arya Bimaraksa bin Jantaka bin Wretikendayun (Balangantrang) dan juga pamannya Aji Putih bin Raden Bimaraksa (Balangantrang) bin Jantaka (Resi Danumaya/Ki Adjar Sukresi) raja Denuh adiknya Batara Semplak Waja Raja (Resi) Galunggung.
Hal diperkuat oleh cerita rakyat setempat, buku dan juga ditemukan beberapa tempat/situs di Daerah Ciseuma dan Pasir Kidul sebelum Gunung Aseupan di Darmaraja kabupaten Sumedang petilasan Prabu Ciung Wanara.
Sejarah
yang ada dalam pantun sebenarnya hanya untuk mengkamuflasekan semasa
kecilnya Prabu Ciung Wanara, seandainya tahu prabu Ciung Wanara ada di
Sumedang, semasa Galuh ada dalam masa pememeritahan Prabu Tamperan sudah
barang tentu dikejar para ponggawanya sampai ke Sumedang.
Jadi Prabu Tajimalela putra prabu Aji Putih adalah masih terhitung saudara (kakak misannya). Berdasarkan sejarah sewaktu merebut kekuasaan Galuh Prabu Ciung Wanara dibantu oleh Pasukan Prabu Tajimalela dan pasukan dari Limbangan Garut, yang mana Limbangan Garut merupakan keturunan dari Prabu Wijaya Kusuma, kakaknya Ratu Komalasari binti Purbasora binti Sempak Waja binti Wretikendayun Ibunya Prabu Aji Putih.
Perang besar banyak diawali akibat perselingkuhan dan perebutan antar anak-anak raja. Perang besar jenis ini terjadi saat Purbasora mengkudeta Bratasena di kerajaan Galuh. Bratasena adalah raja Galuh ke 3 menggantikan ayahnya Amara Mandiminyak (putra ke 3 raja Wretikendayun pendiri Galuh) yang menjadi raja karena ia tampan dibandingkan kakaknya yang cacat (kakak pertama sempak waja-ompong, kakak kedua Jantaka cacat hernia). Purbasora anak “yuridis” Sempakwaja yang merasa sebagai pewaris tahta dari seharusnya ayahnya sebagai anak pertama Wretikendayun, ia tampan karena sesungguhnya ia anak “biologis” dari Mandiminyak yang “selingkuh” dengan istri dari Sempakwaja kakaknya.
Perang besar kedua terjadi di Sunda saat perseteruan Ciungwanara dengan Arya Bangah, hal mana diawali oleh perilaku “selingkuh” ayahnya Arya Bangah, Prabu Tamperan Barmawijaya Raja Sunda atas Dewi Pangreyep istri Raja Galuh Permana Dikusumah yang lebih rajin bertapa.
Cinta buta Tamperan dan kesepiannya Dewi Pangreyep yang terlalu sering ditinggal bertapa membuahkan anak biologis “Arya Bangah” dan memicu Tamperan menjadi haus kekuasan dengan mengutus pembunuh menghabisi Permana Dikusumah di pertapaan, untuk menghilangkan jejak sang pembunuh pun dihabisi Tamperan, akhirnya ia menguasai Sunda dan Galuh serta 2 istri Permana Dikusumah.
Ciung Wanara anak Permana Dikusumah dari istri pertama Dewi Naganingrum saat dewasa membongkar “kasus” ini dan memerangi ayah tirinya dan kakak tirinya Arya Bangah, setelah Dewi Pangreyep dan Tamperan terbunuh, Arya Bangah minta Bantuan Sanjaya Raja Mataram yang juga ayah dari Tamperan, sehingga Perang besar tak terelakan. Perang ini berakhir setelah seluruh sesepuh Sunda-Galuh berekonsiliasi, Arya Bangah dan Ciungwanara keduanya dinikahkan dengan kakak adik putri buyut Resi Demuwan (Kencanasari dan Kencanawangi) dan Arya Bangah jadi Raja Sunda, Ciungwanara (Prabu Surotama) jadi Raja Galuh.
Lihat silsilah dibawah ini :
Sedangkan istrinya Dewi Komalasari (Sunan Pancer) dan kakaknya Wira Dikusuma (Sunan Pameres) kembali ke desa Cipancar di padepokan asal bersama para pembantu/ponggawanya di tempat ini.
Konon daerah yang dipakai pemakaman umum Cipancar sekarang ini dulunya adalah tempat berlatih ilmu kanuragan, dengan bekas-bekas batu tatapakan bekas kaki yang ada di tempat pemakaman ini.
Permana Dikusumah atau Sidik Permana Ajar Padang atau Ki Adjar Padang, yaitu ayahanda dari Prabu Ciung Wanara yang memerintah kerajaan Galuh, kemudian turun tahta dan beliau menjadi resi (situsnya juga ada di Gunung Padang Darmaraja).
Prabu Ciung Wanara (Raden Suratoma) yang menurunkan para raja kerajaan Pajajaran juga diurus semasa kecil oleh kakeknya Arya Bimaraksa bin Jantaka bin Wretikendayun (Balangantrang) dan juga pamannya Aji Putih bin Raden Bimaraksa (Balangantrang) bin Jantaka (Resi Danumaya/Ki Adjar Sukresi) raja Denuh adiknya Batara Semplak Waja Raja (Resi) Galunggung.
Hal diperkuat oleh cerita rakyat setempat, buku dan juga ditemukan beberapa tempat/situs di Daerah Ciseuma dan Pasir Kidul sebelum Gunung Aseupan di Darmaraja kabupaten Sumedang petilasan Prabu Ciung Wanara.
Situs dan Tempat Prabu Ciung Wanara Sewaktu di Darmaraja di Pasir Kidul Darmaraja |
Jadi Prabu Tajimalela putra prabu Aji Putih adalah masih terhitung saudara (kakak misannya). Berdasarkan sejarah sewaktu merebut kekuasaan Galuh Prabu Ciung Wanara dibantu oleh Pasukan Prabu Tajimalela dan pasukan dari Limbangan Garut, yang mana Limbangan Garut merupakan keturunan dari Prabu Wijaya Kusuma, kakaknya Ratu Komalasari binti Purbasora binti Sempak Waja binti Wretikendayun Ibunya Prabu Aji Putih.
Ulasan Ciung Wanara dan Arya Bangah (Hariang Bangah)
Raja Galuh Wretikendayun dengan permaisuri Dewi Pohaci Sari Bunga Mangle Menak Ati berputrakan 3 laki-laki, yang pertama Arya Sempak Waja, kedua Arya Jantaka dan ketiga Arya Mandiminyak. Arya sempak waja tidak menjadi putra mahkota karena cacat pada giginya yang "ompong", Arya Jantaka tidak bisa menggantikan kakaknya menjadi putra mahkota karena cacat berkelaian "Kemir" atau "Hernia", sehingga menjadilah putra mahkota si bungsu yang tampan, Amara Mandiminyak menjadi putra mahkota dan menjadi Raja Galuh yang ke-2.
Raja Galuh Wretikendayun dengan permaisuri Dewi Pohaci Sari Bunga Mangle Menak Ati berputrakan 3 laki-laki, yang pertama Arya Sempak Waja, kedua Arya Jantaka dan ketiga Arya Mandiminyak. Arya sempak waja tidak menjadi putra mahkota karena cacat pada giginya yang "ompong", Arya Jantaka tidak bisa menggantikan kakaknya menjadi putra mahkota karena cacat berkelaian "Kemir" atau "Hernia", sehingga menjadilah putra mahkota si bungsu yang tampan, Amara Mandiminyak menjadi putra mahkota dan menjadi Raja Galuh yang ke-2.
Perang besar banyak diawali akibat perselingkuhan dan perebutan antar anak-anak raja. Perang besar jenis ini terjadi saat Purbasora mengkudeta Bratasena di kerajaan Galuh. Bratasena adalah raja Galuh ke 3 menggantikan ayahnya Amara Mandiminyak (putra ke 3 raja Wretikendayun pendiri Galuh) yang menjadi raja karena ia tampan dibandingkan kakaknya yang cacat (kakak pertama sempak waja-ompong, kakak kedua Jantaka cacat hernia). Purbasora anak “yuridis” Sempakwaja yang merasa sebagai pewaris tahta dari seharusnya ayahnya sebagai anak pertama Wretikendayun, ia tampan karena sesungguhnya ia anak “biologis” dari Mandiminyak yang “selingkuh” dengan istri dari Sempakwaja kakaknya.
Perang besar kedua terjadi di Sunda saat perseteruan Ciungwanara dengan Arya Bangah, hal mana diawali oleh perilaku “selingkuh” ayahnya Arya Bangah, Prabu Tamperan Barmawijaya Raja Sunda atas Dewi Pangreyep istri Raja Galuh Permana Dikusumah yang lebih rajin bertapa.
Cinta buta Tamperan dan kesepiannya Dewi Pangreyep yang terlalu sering ditinggal bertapa membuahkan anak biologis “Arya Bangah” dan memicu Tamperan menjadi haus kekuasan dengan mengutus pembunuh menghabisi Permana Dikusumah di pertapaan, untuk menghilangkan jejak sang pembunuh pun dihabisi Tamperan, akhirnya ia menguasai Sunda dan Galuh serta 2 istri Permana Dikusumah.
Ciung Wanara anak Permana Dikusumah dari istri pertama Dewi Naganingrum saat dewasa membongkar “kasus” ini dan memerangi ayah tirinya dan kakak tirinya Arya Bangah, setelah Dewi Pangreyep dan Tamperan terbunuh, Arya Bangah minta Bantuan Sanjaya Raja Mataram yang juga ayah dari Tamperan, sehingga Perang besar tak terelakan. Perang ini berakhir setelah seluruh sesepuh Sunda-Galuh berekonsiliasi, Arya Bangah dan Ciungwanara keduanya dinikahkan dengan kakak adik putri buyut Resi Demuwan (Kencanasari dan Kencanawangi) dan Arya Bangah jadi Raja Sunda, Ciungwanara (Prabu Surotama) jadi Raja Galuh.
Lihat silsilah dibawah ini :
Kerajaan Tembong Agung
Berdasarkan sumber historiografi tradisional cikal bakal berdirinya kerajaan Sumedanglarang berawal dari kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur). Berdirinya kerajaan Tembong Agung sangat erat kaitannya dengan kerajaan Galuh Pakuan yang didirikan oleh Wretikandayun (612 – 702), sedangkan kerajaan Tembong Agung didirikan oleh Prabu Guru Haji Aji Putih (696 – 721) .
Setelah terjadinya perebutan kekuasaan di Galuh pada masa Sanjaya (723 – 732) dengan Purbasora yang dimenangkan oleh Sanjaya. Ki Balangantrang berhasil meloloskan diri dari pasukan Sunda pada malam pembinasaan Purbasora oleh Sanjaya kemudian tinggal Geger Sunten (sekarang kampung Sodong Desa Tambaksari Kecamatan Rancah, Ciamis). Ki Balangantrang berserta pengikutnya berupaya menghimpun kekuatan untuk merebut kembali Galuh dari tangan Sanjaya.
Sebagai patih kawakan dan cucu Wretikandayun, Balangantrang mudah memperoleh pengikut dan pendukung, akhirnya Ki Balangantrang berhasil mendekati cicitnya Manarah, melalui tangan Manarah ini Ki Balangantrang berhasil merebut Galuh kembali, serangan dilakukan ketika diadakan acara sabung ayam (panyawungan) kerajaan.
Ketika akan melangsungkan persiapkan serangan ke Galuh, putra Ki Balangantrang yaitu Guru Aji Putih mendirikan kerajaan Tembong Agung di Sumedang. Setelah berhasil merebut Galuh, tahta kerajaan diserahkan kepada Ciung Wanara/Manarah dan Ki Balangantrang/ Arya Bimaraksa pensiun sebagai patih Galuh kemudian tinggal bersama putranya.
Ki Balangantrang mempunyai beberapa orang anak yang salah satunya Guru Aji Putih yang dilahirkan pada tahun + 675 M. Pada tahun 696 M, Prabu Guru Aji Putih awalnya mendirikan padepokan di Citembong Agung Girang Kampung Cileuweung Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja kemudian mendirikan kerajaan Tembong Agung.
Situs Citembong Agung Girang Kecamatan Ganeas |
Prabu Guru Aji Putih hasil pernikahan dengan Dewi Nawang Wulan (Ratna Inten) memiliki empat orang putra; yang sulung bernama Batara Kusumah atau Batara Tuntang Buana yang dikenal juga sebagai Prabu Tajimalela diperkirakan lahir + tahun 700 M, yang kedua Sakawayana atau Embah Jalul (makam di Astana Gede bersama Prabu Lembu Agung), yang ketiga Haris Darma dan yang terakhir Jagat Buana yang dikenal Langlang Buana.
Berdasarkan Carita Parahyangan, Prabu Guru Aji Putih adalah saudara Prabu Sri Baduga Maharaja, hal ini dikarenakan karena Prabu Sri Baduga Maharaja adalah keturunan Prabhu Ciung Wanara (Raden Suratoma)
Kemunculan kerajaan Tembong Agung mulai diperhitungkan oleh kerajaan lain, Tembong Agung mendapat pengakuan dan dukungan penuh dari Galuh, sebab Dewi Nawang Wulan adalah keponakan dari Prabu Purbasora selain kedudukan Aria Bimaraksa sebagai Maha Patih mempunyai peranan penting di Galuh sehingga memberikan pengaruh yang besar kepada Tembong Agung, selain itu pengakuan diberikan pula Demunawan penguasa kerajaan Saung Galah, Demunawan merupakan putera dari Sempakwaja.
Setelah menyerahkan kerajaan Tembong Agung kepada putranya Prabu Tajimalela, Prabu Guru Aji Putih menjadi resi di Kabuyutan Citembong Girang Kp. Cileuweung Ds. Ganeas Kecamatan Ganeas.
Dalam Babad Darmaraja diceritakan setelah mengetahui adanya agama baru (Islam) yang hampir mirip dengan agama Sunda maka Prabu Guru Aji Putih berangkat menuju Mekkah untuk menpendalam Agama Islam, sehingga Prabu Guru Aji Putih dikenal juga sebagai Prabu Guru Haji Aji Putih atau Haji Purwa Sumedang yang berarti orang Sumedang pertama berangkat Haji.
Prabu Guru Haji Aji Putih menciptakan beberapa karya sastra yang bernafaskan Islam salah satunya Ilmu Kacipakuan, diantaranya :
1. "Ashadu sahadat bawa ngajadi, sahadat batin manusa, malaikat dat maring Allah, medal ti Adam, metuna ti Ratu Galuh, metuna ti kuncung Agung, medal cahyaning Allah, tina Sir acining putih, jasad sukma rohing nyawa"
2. "Sir Budi Cipta Rasa, Sir Rasa Papan Raga, Dzat Marifat Wujud Kula, Maring Allah, Maring Malaikat, Maring Purbawisesa, Terahwisesa, Ratu Galuh…..(Getaran jiwa adalah untuk menciptakan perasaan, perasaan untuk menghidupkan jasmani. Dzat untuk mengetahui diri sendiri, untuk mendekatkan diri dengan Tuhan pencipta alam semesta, untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan dan mengetahui hati nurani, Cahaya Hati / Nurani….).
Setelah wafat Prabu Guru Haji Aji Putih dimakamkan di Situs Astana Cipeueut terletak di Kampung Cipeueut Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja Sumedang. Makam Prabu Guru Haji Putih terletak tak jauh dari makam ayahnya Sanghyang Resi Agung dan Dewi Nawang Wulan istrinya, yang kini telah ditenggelamkan oleh Waduk Jatigede.
Makam Prabu Aji Putih Sebelum Tenggelam Oleh Jatigede |
Makam Ratu Ratna Inten Dewi Nawangwulan Sebelum Tenggelam Jatigede |
Makam Aria Bimaraksa (Resi Agung) sebebelum terendam Jatigede |
Cikal Bakal Nama Sumedang
Dalam Kropak 410 (abad ke-18) dan Naskah Carita Ratu Pakuan disebutkan bahwa Tajimalela itu adalah Panji Romahyang putera Demang Tabela Panji Ronajaya dari Dayeuh Singapura dan disebutkan pula bahwa Tajimalela sejajar dengan tokoh Ragamulya (1340 – 1350) penguasa di Kawali dan Suryadewata ayahanda Batara Gunung Bitung di daerah Majalengka? Dalam buku Sejarah Sumedang (Kitab Pancakaki) karya R.A.A. Soerialaga (Dalem Talun) bahwa Prabu Tajimalela dengan Ratu Galuh (Berham) / Prabu Tamperan Barmawijaya (732 – 739) adalah saudara misan. Sedangkan berdasarkan historiografi tradisional yang berkembang di masyarakat Sumedang bahwa Tajimalela bertahta pada tahun (721 – 778) atau sejajar dengan Prabu Sanjaya (723 – 732) penguasa Galuh yang kemudian penurunankan raja-raja di Jawa. Ketika Prabu Tajimalela menjadi raja, usia Sanghyang Resi Agung alias Aria Bimaraksa + 68 tahun dan Prabu Guru Haji Aji Putih berusia 46 tahun.
Tradisi waktu itu menjadi seorang raja harus berusia diantara 21 s.d. 23 tahun. Munculnya berbagai versi mengenai Tajimalela karena kurangnya data otentik mengenai masa kerajaan Sumedanglarang khususnya masa sebelum Geusan Ulun bertahta, hanya pada masa Prabu Pagulingan pernah tercatat dalam Catatan Bujangga Manik (1473) dan naskah Carita Ratu Pakuan yang waktu itu berkedudukan di Ciguling dan masa Prabu Geusan Ulun tercatat dalam Pustaka Nagara Kretabhumi (1694). Sedangkan masa sebelumnya hanya berupa historiografi , mitos dan babad yang ditulis sesudah masa Prabu Geusan Ulun. Seperti yang diceritakan dalam Kitab Waruga Jagat (1656) yang ada di Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang, hanya sedikit menceritakan mengenai Sumedanglarang.
Berdasarkan Historiografi Tradisional dan Babad Sumedang, setelah Prabu Guru Haji Aji Putih menyerahkan kerajaan Tembong Agung ke putranya Batara Tuntang Buana, oleh Batara Tuntang Buana nama kerajaan Tembong Agung diganti menjadi Hibar Buana yang berarti menerangi alam. Ketika Batara Tuntang Buana, berkelana mencari tempat untuk untuk mempelajari “elmu Kasumedangan” yang terdiri dari 33 pasal dalam pencariannya Batara Tuntang Buana melewati beberapa tempat seperti Gunung Merak, Gunung Pulosari, Gunung Puyuh, Ganeas, Gunung Lingga dan tempat lainnya, yang akhirnya sampailah di Gunung Mandala Sakti, Batara Tuntang Buana segera memperdalam elmu Kasumedangan hingga gunung Mandala Sakti terbelah dan Batara Tuntang Buana mampu membalut (menyimpay) kembali gunung tersebut sehingga gunung tersebut dikenal sebagai Gunung Simpay.
Dan ketika Batara Tuntang Buana sedang bertapa terjadi fenomena alam di kaki Gunung Cakrabuana, ketika langit menjadi terang-benderang oleh cahaya yang melengkung mirip selendang (malela) selama tiga hari tiga malam sehingga ia berkata “ Ingsun Medal Ingsun Madangan” (Ingsun artinya “saya”, Medal artinya lahir dan Madangan artinya memberi penerangan) maksudnya “Aku lahir untuk memberikan penerangan” dari kata-kata tersebut terangkailah kata Sumedang, Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang.
Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan kata Sumedang bisa diambil juga dari kata Su yang berarti baik atau indah dan Medang adalah nama sejenis pohon (Litsia Chinensis) sekarang dikenal sebagai pohon Huru, dulu pohon medang banyak tumbuh subur di dataran tinggi sampai ketinggi 700 m dari permukaan laut seperti halnya Sumedang merupakan dataran tinggi.
Setelah selesai bertapa Batara Tuntang Buana segera turun gunung dan menggantinya namanya menjadi Prabu Tajimalela (Taji = aji, kaji supaya tajam, Malela = gulungan selendang yang bercahaya) dikenal pula sebagai Prabu Agung Resi Cakrabuana dan Kerajaan Hibar Buana diganti menjadi Sumedanglarang, kata Sumedanglarang dapat juga diartikan sebagai “tanah luas tidak ada tandingnya” (Su= bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya).
Prabu Tajimalela
Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang dan merupakan Raja pertama Kerajaan Sumedanglarang (721 – 778) yang berkedudukan Tembong Agung Darmaraja dibekas kerajaan Prabhu Guru Aji Putih, karena kegagahannya maka Prabhu Tajimalela pulalah yang pertama kali menerima Amanat Kabuyutan, "Bagawan Sawidak Lima Nusa Telung Puluh Telu" Sunda - Medang (Galuh).
Setelah Prabu Tajimalela menjadi raja, kemudian ia mengangkat saudara-saudaranya menjadi patinggi (penguasa) di beberapa daerah. Sokawayana menjadi petinggi di daerah sekitar Gunung Tampomas. Harisdarma menjadi patinggi di sekitar wilayah Gunung Haruman. Langlangbuana menjadi patinggi di wilayah Lemah Putih, namun tidak lama karena ia kemudian mengabdi ke Kerajaan Galuh.(W.D. Dharmawan Ider Alam, op. cit., hal. 68-69).
Setelah wafat Prabu Tajimalela dimakamkan di puncak Kabuyutan Gunung Lingga terletak di Desa Cimarga Kecamatan Cisitu Sumedang. Situs Gunung Lingga berbentuk bangunan teras berundak terdiri dari beberapa teras yang tersusun dari batu. Pada teras teratas terdapat batu “Lingga” dengan tinggi + 1.5 Cm yang dipercaya sebagai makam Prabu Tajimalela.
Situs Prabu Tajimalela Di Gunung Lingga Sumedang |
Kemunculan Sumedanglarang sejalan dengan kasus kemunculan kerajaan Talaga. Dirintis oleh tokoh Praburesi, tumbuh otonom tetapi yuridis berada dibawah Galuh.
Prabu Tajimalela mempunyai tiga orang putra yaitu ; yang pertama Jayabrata atau Batara Sakti alias Prabu Lembu Agung, yang kedua Atmabrata atau Bagawan Batara Wirayuda yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung, dan yang terakhir Mariana Jaya atau Batara Dikusuma dikenal sebagai Sunan Ulun, yang pertama menjadi raja kedua Sumedanglarang adalah Lembu Agung (778 – 893) kemudian digantikan oleh Gajah Agung.
Prabu Lembu Agung dan Gajah Agung
Dalam Babad Darmaraja ketika Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke puncak Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya).
Tempat Bertapanya Prabu lembu Agung dan Gajah Agung Gunung Nurmala atau Gunung Sangkan Jaya |
Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Ketika ujian berlangsung Prabu Lembu Agung pergi sementara tinggallah Gajah agung seorang diri, panas sinar matahari membuat Prabu Gajah Agung sangat kehausan, karena tak kuat menahan rasa dahaga kemudian ia membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Sumedanglarang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara (Darma Ngarajaan) yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Sehingga daerah bekas Prabu Lembu Agung disebut Darmaraja.
Setelah itu Kerajaan Sumedanglarang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi dan membangun sarana keagamaan Mandala Kawikan disebut Karang Kawikan sebagai sarana ritual gaib di kabuyutan Cipaku.
Berdasarkan Naskah Layang Darmaraja sebelum Prabu Tajimalela menyerahkan Tahta Kerajaan kepada salah seorang putranya, beliau mengadakan ujian kepada kedua putranya yang bernama Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung dimana salah seorang harus meneruskan Tahta Kerajaan.
Tapi keduanya menolak untuk menjadi Raja maka Prabu Tajimalela menyuruh kedua putranya untuk pergi ke Gunung Sangkan Jaya, keduanya di perintahkan untuk menunggu sebilah pedang dan sebuah kelapa muda, keinginan Prabu Tajimalela dituruti oleh kedua putranya.
Setelah sekian lama menunggu sebilah pedang dan sebuah kelapa muda, Prabu Lembu Agung tidak tahan badannya terasa panas, maka ia berpamitan kepada adiknya untuk mandi sebentar dan sepeninggal kakaknya akhirnya Prabu Gajah Agung tak kuasa menahan dahaga, beliau mengupas kelapa muda lalu meminumnya.
Kejadian ini diketahui oleh Prabu Tajimalela, maka diputuskan Prabu Gajah Agung untuk menjadi raja di kerajaan Sumedang Larang dan harus mencari Ibukota sendiri.
Prabu Gajah Agung (Atmadibrata) memindahkan ibukota dari Leuwi Hideung Darmaraja ke Ciguling Pasanggrahan Kecamatan Sumedang Selatan, dan beliau disebut juga Prabu Pagulingan. Beliau wafat dan dimakamkan di Cicanting Darmaraja, memerintah antara tahun 1492 –1502.
Selain itu juga mendirikan beberapa padepokan di Gunung Rengganis, Gunung Cakrabuana, Gunung Tampomas dan Gunung Jagat. Prabu Lembu Agung dan para keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun putera ketiga Prabu Tajimalela dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes. Menurut kisah Sunan Geusan Ulun memilih menjadi seorang petapa/resi beliau tidak disebutkan tempat pertapaannya.
Prabu Lembu Agung meneruskan menjadi raja Tembong Agung beliau disebut juga Prabu Peteng Aji dan tidak lama memerintah diganti oleh putranya yang bernama Batara Ayah.
Raja-raja yang meneruskan kerajaan Tembong Agung di Leuwi Hideung Darmaraja ialah :
1. Batara Ayah, mempunyai putra ;
2. Batara Sakti, mempunyai putra ;
3. Prabu Darma Wisesa, mempunyai putra ;
4. Tumenggung Jaga Satru, mempunyai putra ;
5. Dalem Santa Pura, mempunyai putra ;
6. Dalem Santadinata, mempunyai putra ;
7. Dalem Mangunraga, mempunyai putra ;
8. Dalem Jamanggala, mempunyai putra ;
9. Dalem Tanu Dipa, mempunyai putra ;
10. Dalem Dipawangsa, mempunyai putra ;
11. Dalem Saeamanggala, mempunyai putra ;
12. Dalem Jamanggala II, mempunyai putra ;
13. Dalem Saeamaggala II, mempunyai putra ;
14. Rd. Demang Bitih Mangkupraja, mempunyai putra ;
15. Rd. Raksadipraja, mempunyai putra ;
16. Rd. Santadipraja, mempunyai putra ;
17. Rd. Sacamanggala, mempunyai putri ; dst.
Setelah wafat Prabu Lembu Agung dimakamkan di Astana Gede terletak di Kampung Astana Gede Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja Sumedang, tidak jauh dari Situs Cipeueut makam Prabu Guru Haji Aji Putih.
Akhirnya Prabu Tajimalela menunjuk Atmabrata yang dikenal sebagai Prabu Gajah Agung (893 – 998) sebagai raja Sumedanglarang ketiga, periode pemerintahan kedua keturunan Prabu Tajimalela lebih kepada karesian dari pada keprabuan. Setelah Prabu Gajah Agung menerima keputusan dari ayahnya sebagai raja Sumedanglarang dan diperintahkan untuk mencari tempat sendiri untuk mendirikan Ibukota baru Sumedanglarang.
Benteng bekas Ibu Kota Sumedang Larang di Geger Sunten Masa Prabu Gajah Agung Di Kecamatan Sumedang Selatan |
Makam Prabu Gajah Agung di Desa Cicanting, Kampung Sukamenak, Kecamatan Wado |
Prabu Pagulingan
Ciguling merupakan bekas Ibukota Sumedanglarang terlama sejak masa pemerintahan Prabu Gajah Agung tahun 893 sampai masa pemerintahan Nyi Mas Patuakan tahun 1530, mulai dari Dusun Ciguling 1 Kelurahan Pasanggrahan sampai terbentang sampai bukit Geger Hanjuang di Dusun Ciguling 2 Desa Margalaksana. Bentuk Situs Ciguling merupakan teras berundak pada teras paling bawah terdapat Sungai Cipeles dan jalan raya Sumedang dan Bandung, pada teras kedua terdapat permukiman warga dan teras teratas terdapat bentang alam batu Cadas Gantung Geger Sunten Ciguling.
Tebing Bentang Alam Cadas Gantung Geger Sunten Di Ciguling |
Setelah Prabu Gajah Agung wafat digantikan putranya bernama Wirajaya atau Jagabaya dikenal sebagai Prabu Pagulingan (998 – 1114 M) kemudian menjadi raja Sumedanglarang keempat.
Pusat pemerintahan Prabu Pagulingan berkedudukan di Ciguling dalam Carita Ratu Pakuan disebut Dayeuh Pagulingan. Pada masa itu bala tentara Prabu Pagulingan terkenal tangguh dalam bertempur, daerah Ciguling yang dikelilingi oleh benteng pertahanan alam yang baik, waktu beberapa gunung seperti bukit Nangtung (sebelah utara Ciguling) dan bukit Pasir Reungit (sebelah timur Ciguling) digunakan sebagai benteng pertahanan.
Tebing Cadas Gantung Geger Sunten digunakan untuk memperhatikan daerah Ciguling sekitarnya termasuk arah kota Sumedang sekarang, bukit Nantung digunakan oleh para Gulang-gulang (senapati) Prabu Pagulingan sebagai pusat (base camp) prajurit Sumedanglarang dan Pasir Reungit (batu Nantung) digunakan sebagai tempat peristirahatan raja-raja Sumedanglarang waktu itu, dalam legenda masyarakat setempat Pasir Reungit disebut juga sebagai tempat Pamoean (tempat berjemur).
Pada masa Prabu Pagulingan kerajaan Sumedanglarang mendapat serangan dari balatentara kerajaan Subang tetapi berhasil ditahan oleh prajurit Sumedanglarang.
Setelah wafat Prabu Pagulingan dimakamkan di Kampung Ciguling Kecamatan Sumedang Selatan.
Setelah wafatnya Prabu Pagulingan kedudukannya digantikan oleh putranya Mertalaya atau dikenal sebagai Sunan Guling/Rajamukti Purbakawasa (1114 – 1237 M) sebagai raja Sumedanglarang kelima.
Pada masa Sunan Guling bangunan Karaton Sumedanglarang dipindahkan ke daerah Geger Hanjuang di Dusun Ciguling 2 Desa Margalaksana Kecamatan Sumedang Selatan sebelumnya berada di Geger Sunten sedangkan pusat Ibukota masih di daerah Ciguling.
Karaton Sumedanglarang di Geger Hanjuang sampai masa Ratu Nyi Mas Patuakan (1462 – 1530)
Sunan Guling merupakan raja Sumedanglarang terlama memerintah + 123 tahun dalam masa pemerintahannya banyak peristiwa terjadi salah satunya perebutan kekuasaan di Sunda Pakuan. Sunan Guling di makamkan di Geger Hanjuang.
Makam Sunan Guling di Geger Hanjuang |
Sunan Guling mempunyai tiga putra :
1. Tirta Kusuma dikenal sebagai Sunan Tuakan.
2. Jayadinata dan
3. Kusuma Jayadiningrat.
Setelah Sunan Guling wafat digantikan oleh puteranya bernama Tirtakusuma atau Sunan Tuakan (1237 – 1462) sebagai raja Sumedanglarang yang keenam.
Prabu Tirtakusumah/Sunan Tuakan memerintah paling lama antara raja-raja Sumedanglarang kurang lebih 155 tahun, dalam pemerintahannya lebih mengutamakan kepada kepentingan ke dalam (Sumedanglarang) sehingga tidak tampak peran politiknya. Pada masa pemerintahan Sunan Tuakan terjadi peristiwa Perang Bubat antara Pajajaran dan Majapahit. Setelah wafat Sunan Tuakan dimakamkan di makam Kampung Heubeul Isuk Desa Cimarias Kecamatan Pamulihan Sumedang, pada kompleks makam Heubeul Isuk terdapat pula makam Prabu Mundingwangi, makam istri Sunan Tuakan dan makam puterinya Ratu Nyi Mas Patuakan Ratu Sumedanglarang ketujuh.
Makam Heubeul Isuk Prabu Tirta Kusuma (Sunan Tuakan) |
Sunan Tuakan memiliki tiga putri, yang sulung Ratu Ratnasih alias Nyi Rajamatri diperistri oleh Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (1482 – 1521) Raja Pajajaran yang kelak menurunkan Nyi Mas Cukang Gedeng Waru istri pertama Prabu Geusan Ulun, putri kedua Sunan Tuakan yaitu Ratu Sintawati alias Ratu Nyi Mas Patuakan dan putri ketiga Sari Kencana diperistri oleh Prabu Liman Sanjaya. Kemudian Sunan Tuakan digantikan oleh putrinya yang bernama Ratu Sintawati alias Ratu Nyi Mas Patuakan (1462 – 1530) sebagai raja Sumedanglarang ketujuh, Ratu Sintawati menikah dengan Sunan Corenda atau Batara Sakawayana raja Talaga putera Ratu Simbar Kancana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala penguasa Galuh.
Sunan Corenda mempunyai dua orang permaisuri yaitu Ratu Sintawati dari Sumedang dan Ratu Mayangsari puteri Langlang Buana dari Kuningan. Dari pernikahannya dengan Ratu Sintawati mempunyai putri bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata setelah menjadi penguasa Sumedang yang bergelar Ratu Pucuk Umun, sedangkan dari Mayangsari memperoleh puteri bernama Ratu Wulansari alias Ratu Parung yang kemudian menikah dengan Rangga Mantri yang dikenal sebagai Sunan Parung Gangsa (Pucuk Umun Talaga) putera Munding Surya Ageung.
Masa pemerintah Ratu Nyi Mas Patuakan atau Ratu Sintawati Sumedanglarang menjadi bawahan kerajaan Pajajaran dan menjadi benteng pertahanan Sunda Pakuan. Pada masa ini kerajaan Galuh dibagi menjadi dua, Galuh Kawali dikuasai oleh Dewa Niskala sedangkan Sunda Pakuan dikuasai oleh Prabu Susuk Tunggal dan pada tahun 1539 agama Islam mulai menyebar di Sumedang. Agama Islam disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Pangeran Palakaran / Muhammad, putra dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) keturunan dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah.
Pangeran Palakaran menikah dengan Nyi Armilah seorang puteri Sindangkasih Majalengka dan hasil pernikahan tersebut pada tanggal 6 bagian gelap bulan jesta tahun 1427 saka (+ 29 Mei 1505 ) lahirlah seorang putra bernama Rd. Solih atau Ki Gedeng Sumedang alias Pangeran Santri. Kelak Pangeran Santri menikah dengan Ratu Inten Dewata puteri dari Nyi Mas Patuakan. Setelah Nyi Mas Patuakan wafat digantikan oleh puterinya Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata (1530 – 1578). Pada masa ini pengaruh Islam bergitu kuat menyebar di Sumedang. Putra Pangeran Palakaran yaitu Pangeran Santri datang ke Sumedanglarang untuk menyebarkan agama Islam melanjutkan tugas ayahnya. Pangeran Santri dalam penyebaran Agama Islam mengenalkan Seni Gembyung sebagai media dalam mensyiarkan agama Islam. Pangeran Santri mengembangkan agama Islam dengan menggunakan pendekatan sosial dan budaya sehingga tradisi adat istiadat masyarakat tetap berjalan tanpa menghancurkan nilai-nilai budaya aslinya.
Pangeran Santri menikah dengan Ratu Inten Dewata setelah menikah bergelar Ratu Pucuk Umun (1530 – 1578), yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umun sebagai penguasa Sumedang, pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 saka (+ 21 Oktober 1530) Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja Sumedanglarang dengan gelar Pangeran Kusumadinata. Pangeran Santri merupakan murid Sunan Gunung Jati dan Pangeran Santri merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedanglarang yang baru, sampai sekarang di sekitar situs Kutamaya dapat dilihat batu bekas fondasi tajug keraton Kutamaya.
Batu Tajug Keraton di Kutamaya |
Makam Pangeran Santri (Raden Sholih bin Maulana Muhammad) & Ratu Pucuk Umun di Pasarean Gede Kecamatan Sumedang Selatan |
Pangeran Angkawijaya/Prabu Geusan Ulun
Pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka (+ 19 Juli 1558) lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun putera dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun. Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri, dikaruniai enam putera, yaitu :
1. Raden Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun)
2. Kyai Rangga Haji.
3. Kyai Demang Watang.
4. Santowan Wirakusumah (Dalem Pagaden – Subang)
5. Santowan Cikeruh.
6. Santowan Awi Luar.
Pada masa pemerintahan Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri, pengaruh kekuatan Pajajaran sudah melemah dibeberapa daerah termasuk Sumedang. Melemahnya Pajajaran akibat serangan Banten beberapa daerah dulunya kekuasaan Pajajaran sudah direbut oleh pasukan Surasowan Banten dan kerajaan-kerajaan bawahan Pajajaran sudah tidak terawasi dan secara de facto menjadi merdeka. Setelah melihat keadaan Pajajaran yang sudah tak menentu Prabu Ragamulya Suryakancana memerintahkan empat Senapati Pajajaran untuk menyelamatan Pusaka Pajajaran sebagai lambang eksistensi kekuasaan Pajajaran di Tatar Sunda ke Sumedang, maka berangkatlah empat Senapati Pajajaran yang menyamar sebagai Kandaga Lante bersama rakyat Pajajaran yang mengungsi, tengah perjalanan rombongan dibagi dua, ronbongan pertama meneruskan perjalanan ke Sumedang dan rombongan lainnya menuju ke arah pantai selatan.
Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedanglarang Ratu Pucuk Umum dan Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghyang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nangganan), Sangyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran “Mahkota Binokasih” yang dibuat pada masa Prabu Bunisora Suradipati (1357 – 1371), Mahkota tersebut kemudian di serahkan kepada penguasa Sumedanglarang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya dinobatkan sebagai raja Sumedanglarang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran, sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (h. 69) yang berbunyi; “Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahiyangan.
Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang) selanjutnya diberitakan “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun). “Anyakrawartti” biasanya digunakan kepada pemerintahan seorang raja yang merdeka dan cukup luas kekuasaannya.
Dalam hal ini istilah “nyakrawartti” maupun “samanta” sebagai bawahan, cukup layak dikenakan kepada Prabu Geusan Ulun, hal ini terlihat dari luas daerah yang dikuasainya, dengan wilayahnya meliputi seluruh Pajajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedanglarang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedanglarang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian dari Jawa Barat.
Pada saat penobatannya Pangeran Angkawijaya berusia 22 tahun lebih 4 bulan, sebenarnya Pangeran Angkawijaya terlalu muda untuk menjadi raja sedangkan tradisi yang berlaku bahwa untuk menjadi raja adalah 23 tahun tetapi Pangeran Angkawijaya mendapat dukungan dari empat orang bersaudara bekas Senapati dan pembesar Pajajaran, keempat bersaudara tersebut merupakan keturunan dari Prabu Bunisora Suradipati.
Dalam Pustaka Kertabhumi I/2 menceritakan keempat bersaudara itu “Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya” (Mereka mengabdi kepada Prabu Geusan Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan lain-lainnya), sehingga mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahiyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000 umpi, untuk menjadi nalendra baru pengganti penguasa Pajajaran yang telah sirna.
Pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M Pajajaran “Sirna ing bumi”.Seperti diberitakan dalam Pustaka Nusantara III/1 (h.219) dan Pustaka Kertabhumi 1/2 (h.68) “Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadacai cuklapaksa wesakhamasa sahasra limangantus punjul siki ikang cakakala”.
Ibukota Pajajaran jatuh ke tangan pasukan gabungan Kesultanan Surasowan Banten dan Cirebon. Pajajaran Burak, dalam penyerangan tersebut tentara Banten hanya mendapatkan keadaan keraton pakuan yang kosong telah ditinggalkan oleh penghuninya dan tentara Banten hanya membawa batu penobatan raja-raja Sunda Sriman Sriwacana ke Istana Surasowan Banten kemudian digunakan sebagai tempat penobatan raja-raja Banten, batu ini dikenal sebagai Watu Gilang. Dengan dibawanya batu tersebut dari Pajajaran menandakan berpindahnya legitimasi kekuasaan dari Pajajaran ke tangan Banten tetapi kenyataannya atas kekuasaan wilayah Pajajaran berada di tangan Sumedanglarang.
Pangeran Santri wafat pada tanggal 10 bagian gelap bulan Asuji tahun 1501 saka (2 Oktober 1579) dan dimakamkan di Pasarean Gede kelurahan Kota Kulon Sumedang dan setelah wafat Ratu Pucuk Umun dimakamkan disamping makam suaminya.
Kisah Hanjuang di Kutamaya
Bekas Ibukota Sumedang Larang di Kutamaya |
Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun ada suatu peristiwa penting, menurut Pustaka Kertabhumi I/2 (h.70) peristiwa Harisbaya terjadi tahun 1507 saka atau 1585 M. Peristiwa ini dimulai ketika Prabu Geusan Ulun pulang berguru dari Demak dan Pajang, singgah di Keraton Panembahan Ratu (Pangeran Girilaya) penguasa Cirebon ketika Prabu Geusan Ulun sedang bertamu di Cirebon, sang Prabu bertemu dengan Ratu Harisbaya isteri kedua Panembahan Ratu yang masih muda dan cantik.
Harisbaya merupakan puteri Pajang berdarah Madura yang di “berikan” oleh Arya Pangiri penguasa Mataram kepada Panembahan Ratu. Pemberian Harisbaya ke Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri agar Panembahan Ratu bersikap netral karena setelah Hadiwijaya raja Pajang wafat terjadilah perebutan kekuasaan antara keluarga keraton – Pajang yang didukung oleh Panembahan Ratu menghendaki agar yang menggantikan Hadiwijaya adalah Pangeran Banowo putra bungsunya, tetapi pihak keluarga Trenggono di Demak menghendaki Arya Pangiri putra Sunan Prawoto dan menantu Hadiwijaya sebagai penggantinya yang akhirnya Arya Pangirilah yang meneruskan kekuasaan di Pajang.
Selama berguru di Demak Prabu Geusan Ulun belajar ilmu keagamaan, sedangkan di Pajang berguru kepada Hadiwijaya belajar ilmu kenegaraan dan ilmu perang, selama di Pajang inilah Prabu Geusan Ulun berjumpa dengan Harisbaya dan menjalin hubungan kekasih yang akhirnya hubungan kekasih ini terputus karena Ratu Harisbaya di paksa nikah dengan Panembahan Ratu oleh Arya Pangiri. Ada kemungkinan setelah pulang berguru dari Demak dan Pajang Prabu Geusan Ulun singgah di Cirebon untuk memberikan ucapan selamat kepada Panembahan Ratu atas pernikahannya dengan Harisbaya dan sekalian melihat mantan kekasih.
Melihat mantan kekasihnya datang rasa rindu dan cintanya Harisbaya ke Geusan Ulun makin mengebu-gebu, setelah Panembahan Ratu tidur Harisbaya mengedap-edap mendatangi tajug keraton dimana Prabu Geusan Ulun beristirahat dan Harisbaya datang membujuk Geusan Ulun agar membawa dirinya ke Sumedang ketika itu Geusan Ulun bingung karena Harisbaya adalah istri pamanya sendiri sedangkan Harisbaya mengancam akan bunuh diri apabila tidak dibawa pergi ke Sumedang, setelah meminta nasehat kepada empat pengiringnya akhirnya malam itu juga Harisbawa dibawa pergi ke Sumedang.
Keesokan paginya keraton Cirebon gempar karena permaisuri hilang beserta tamunya, melihat istrinya hilang Panembahan Ratu memerintahkan prajuritnya untuk mengejar tetapi prajurit bayangkara Cirebon yang mengusul Geusan Ulun rombongan dapat dipukul mundur oleh empat pengiring sang Prabu. Akibat peristiwa Harisbaya tersebut terjadilah perang antara Sumedang dan Cirebon, sebelum berangkat perang Jaya Perkosa berkata kepada Prabu Geusan Ulun, ia akan menanam pohon Hanjuang di Ibukota Sumedanglarang (Kutamaya) sebagai tanda apabila ia kalah atau mati pohon hanjuang pun akan mati dan apabila ia menang atau hidup pohon hanjuang pun tetap hidup, sampai sekarang pohon hanjuang masih hidup? Setelah berkata Jaya Perkosa berangkat bertempur karena pasukan Cirebon sangat banyak maka perangpun berlangsung lama dalam perang tersebut dimenangkan oleh Jaya Perkosa, dipihak lain Nangganan, Kondang Hapa dan Terong Peot kembali ke Kutamaya sedangkan Jayaperkosa terus mengejar pasukan Cirebon yang sudah cerai berai.
Pohon Hanjuang Jaya Perkosa |
Makam Pangeran Geusan Ulun di Dayeuh Luhur Desa Ganeas |
Jayaperkosa kembali ke Kutamaya dengan membawa kemenangan tetapi ia heran karena Ibukota telah kosong sedang pohon hanjuang tetap hidup akhirnya Jaya Perkosa menyusul ke Dayeuh Luhur dan setelah bertemu dengan Prabu Geusan Ulun, ia marah menanyakan kenapa Sang Prabu meninggalkannya tanpa melihat pohon hanjuang dulu, setelah mendengar penjelasan dari Prabu Geusan Ulun bahwa pindahnya Ibukota atas anjuran Nangganan maka Djaya perkosa marah kepada Nangganan karena merasa di khianati oleh saudaranya bahkan membunuhnya dan meninggalkan rajanya sambil bersumpah tidak akan mau mengabdi lagi kepada Prabu Geusan Ulun. Terdengar kabar dari Cirebon terdengar bahwa Panembahan Ratu akan menceraikan Harisbaya sebagai ganti talaknya daerah Sindangkasih diberikan ke Cirebon. Akhirnya Prabu Geusan Ulun menikah dengan Harisbaya.
Batu Tongkat Jaya Perkosa di Dayeuh Luhur |
1. Pangeran Rangga Gede.
2. Arya Wirareja.
3. Kiai Rangga Gede.
4. Kiai Patrakelasa.
5. Ngabehi Watang.
6. Arya Rangga Pati Haur Kuning.
7. Nyi Demang Cipaku.
8. Nyi Mas Ngabehi Martayuda.
9. Nyi Mas Rangga Wiratama.
10. Rangga Nitinagara.
11. Nyi Mas Rangga Pamande.
12. Nyi Mas Dipati Ukur.
13. Pangeran Dipati Kusumahdinata.
14. Pangeran Tegal Kalong.
dan istri kedua Prabu Geusan Ulun yaitu Nyi Mas Pasarean dikaruniai seorang puteri Nyi Mas Demang Cipaku sedangkan dari Harisbaya istri ketiga Prabu Geusan Ulun tidak mempunyai keturunan, dengan demikian Pangeran Suriadiwangsa merupakan anak tiri Prabu Geusan Ulun, melainkan putera dari Pangeran Girilaya Cirebon karena waktu Harisbaya diboyong ke Sumedang dalam keadaan hamil 2 bulan.
Setelah Prabu Geusan Ulun wafat di makamkan di Dayeuh Luhur, selain itu terdapat pula makam Ratu Harisbaya dan makam Kandaga Lante / Senapatih Djaya Perkosa.
Peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Cakrawarti atau Nalendra merupakan kebebasan Sumedang untuk mengsejajarkan diri dengan kerajaan Banten dan Cirebon. Arti penting yang terkandung dalam peristiwa itu ialah pernyataan bahwa Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran di Bumi Parahiyangan. Pusaka Pajajaran dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jaya Perkosa dari Pakuan dengan sendirinya dijadikan bukti dan alat legalisasi keberadaan Sumedang, sama halnya dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak dan Mataram.
Salam Santun Pembaca Blog
=========
Sumber Bahan Pustaka :
- Blog Museum Prabu Geusan Ulun "Yayasan Pangeran Aria Suria Atmadja" (YPASA)
- Layang Darmaraja
- Nyukcrug Galur Sumedang
- dll
Post a Comment