Sekilas Kabupaten Sumedang dan Potensi Unggulannya
Geografis dan Topografi
Keadaan
geografis Kabupaten Sumedang yang dikelilingi gunung. Sumedang
berasal dari dua kata yaitu Insun yang berarti saya, dan Medal yang
berarti lahir. Pada masa kejayaannya, kerajan Sumedang Larang sangat
luas yaitu Jawa Barat dikurangi Kesultanan Cirebon dan Banten. Kabupaten
sumedang merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang
terletak pada 107°44` - 160°30` Bujur Timur dan 6°36` - 7°2` Lintang
Selatan. Jarak terjauh dari arah Barat - Timur 53 Km dan Utara Selatan
51 Km, dengan batas administrasi sabagai berikut
Sebelah Utara : Kabupaten Indramayu
Sebelah Selatan : Kabupaten Bandung dan Garut
Sebelah Barat : Kabupaten Bandung dan Subang
Sebelah Timur : Kabupaten Majalengka
Sebelah Selatan : Kabupaten Bandung dan Garut
Sebelah Barat : Kabupaten Bandung dan Subang
Sebelah Timur : Kabupaten Majalengka
Kabupaten Sumedang
secara geografis merupakan wilayah yang strategis, karena jarak ke
pusat kota Bandung yang menjadi ibu kota Propinsi relatif pendek (45
Km), dan berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten bandung. Dengan
demikian sebagian fungsi kota Bandung ditampung di wilayah Kabupaten
Sumedang seperti pemukiman. Industri, pendidikan dan pertanian sebagai
pengedia bahan pangan.
Iklim di Kabupaten
Sumedang termasuk tipe Iklim C menurut Schmidth dan Ferguson,
sedangkan curah hukan rata-rata pada tahun 1996 tercatat 2.301 mm
dengan 129 hari hujan per tahun.
Tofografi Kabupaten
Sumedang bervariasi dari dataran di bagian Utara sampai berbukit di
bagian Selatan dan Barat, Tinggi tempat diatas permukaan diatas
permukaan laut berkisar antara 36 - 1500 m dpl.
Dengan topografi
berbukit dan kemiringan tanah yang sangat bervariasi dan sangat
dimungkinkan terdapatnya lahan kritis yang cukup luas. Dengan kondisi
kemiringan tanah diatas, hasil indentifikasi kepekaan tanah terhadap
erosi pada tahun 1996.
Peka 3.946,90 Ha = 2,61 %
Agak Peka 13.793,29 Ha = 9,06%
Tidak Peka 134.461,79 Ha = 88,33 %
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, sebelum menjadi Kabupaten Sumedang seperti sekarang ini, telah terjadi beberapa peristiwa penting diantaranya :
Pada mulanya kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan bernama Kerajaan Tembong Agung dengan rajanya bernama Prabu Galuh Hadji Adji Putih (Adji Purwa Sumedang). Tembong artinya mulai nampak, dan Agung artinya cita-cita luhur. Dengan demikian Kerajaan Tembong Agung berarti cita-cita luhur yang mulai nampak, Rajanya bernama Prabu Guru Hadji Adji Putih (Haji Purwa Sumedang).
Setelah Raja Haji Purwa Sumedang mangkat yakni pada abad XIII digantikan oleh puteranya bernama Prabu Tadjimalela dan nama kerajaannya diganti dari Kerajaan Tembong Agung menjadi Kerajaan Hibar Buana yang artinya menerangi Alam, namun demikian dalam perjalannannya kerajaan itu berubah lagi menjadi Sumedang Larang, nama ini diilhami dari perkataan ” Insun Medal Medangan Larangan ” yang berarti ” aku dilahirkan di tempat yang mulia yang sarat dengan tantangan dan ujian dalam menuju ketingkat kemakmuran rakyat”.
Pada masa pemerintahan Prabu Tuntang Buana yang juga dikenal dengan sebutan Prabu Tadjimalela, Kerajaan Tembong Agung berubah nama menjadi kerajaan Sumedang Larang.
Berdasarkan ahli sejarah, runtuhnya kerajaan Padjadjaran pada abad ke 16 erat kaitannya dengan perkembangan kerajaan Sumedang Larang , Kekuasan Padjadjaran berakhir setelah adanya serangan laskar gabungan dari kerajaan Banten, Pakungwati, Demak dan Angke. Pada waktu itu Sumedang Larang tidak ikut runtuh karena sebagian besar rakyatnya sudah memeluk Agama Islam yang datang dari arah timur, oleh karena itu pula pemegang pemerintahan kerajaan Sumedang Larang waktu itu adalah Pangeran Kusumahdinata yang berkuasa dari tahun 1530-1578, yang lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Santri.
Kerajaan Sumedang Larang mencapai masa keemasan pada masa pemerintahan Pangeran Angka Widjaya atau dikenal dengan sebutan Prabu Geusan Ulun. Pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun inilah diterapkan mulainya Sistem Pemerintahan Kabupaten.
Pada tanggal 22 april 1579, Prabu Geusan Ulun dinobatkan menjadi Prabu Sumedang Larang oleh Prabu Siliwangi. Penobatan ini menjadi titik awal berkembangnya Kabupaten Sumedang sebagai sebuah pemerintahan yang memiliki otoritas penuh. Oleh sebab itu Tanggal 22 April ditetapkan menjadi hari jadi Kota Sumedang. Menjelang akhir tahtanya Prabu Geusan Ulun, muncul Kesultanan Mataram dengan membawa pengaruh dan perubahan di bidang sosial, ekonomi dan sistem pemerintahan. Oleh karena itu pemerintah Keprabuan (Kerajaan) diganti oleh sistem Pemerintahan Kabupaten hingga saat ini.
Ibukota kabupaten Sumedang adalah Kota Sumedang, yang memiliki ciri seperti kota-kota kuno khas Jawa Barat yaitu terdapat alun-alun sebagai pusat Kota yang dikelilingi Mesjid Agung, penjara dan kantor pusat pemerintahan. Ditengah–tengah alun-alun terdapat Monumen Lingga yaitu tugu peringatan atas jasa-jasa Pangeran Suriatmaja dalam mengembangkan Sumedang. Monumen tersebut dibangun pada tahun 1902 oleh Pemerintahan Belanda dan hingga kini dijadikan lambang kabupaten Sumedang.
POTENSI UNGGULAN KABUPATEN SUMEDANG
A. SENI BUDAYA
1. Kuda Renggong
Yang menciptakan seni
kuda renggong yaitu Sipan, dari desa Cikurubuk, Kecamatan Buahdua,
Kabupaten Sumedang. Pada awalnya secara tidak disengaja, yaitu sekitar
tahun 1910-an.
Sipan adalah anak peternak kuda yang berasal dari Buahdua, Sipan tergerak hatinya untuk mengamati gerak kuda peliharaannya terutama pada gerakan kepala dan kaki, gerakan-gerakan itulah yang menjadi dasar intuisi dalam hal penciptaan kesenian Kuda Renggong (kuda yang bisa menari).
Menurut tuturan beberapa seniman, Kuda Renggong muncul pertama kali dari desa Cikurubuk, Kecamatan Buah Dua, Kabupaten Sumedang. Di dalam perkembangannya Kuda Renggong mengalami perkembangan yang cukup baik, sehingga tersebar ke berbagai desa di beberapa kecamatan di luar Kecamatan Buah Dua. Dewasa ini, Kuda Renggong menyebar juga ke daerah lainnya di luar Kabupaten Sumedang.
Sebagai seni pertunjukan rakyat yang berbentuk seni helaran (pawai, karnaval), Kuda Renggong telah berkembang dilihat dari pilihan bentuk kudanya yang tegap dan kuat, asesoris kuda dan perlengkapan musik pengiring, para penari, dll., dan semakin hari semakin semarak dengan pelbagai kreasi para senimannya. Hal ini tercatat dalam setiap festival Kuda Renggong yang diadakan setiap tahunnya. Akhirnya Kuda Renggong menjadi seni pertunjukan khas Kabupaten Sumedang. Kuda Renggong kini telah menjadi komoditi pariwisata yang dikenal secara nasional dan internasional.
Pertunjukan Kuda Renggong dilaksanakan setelah anak sunat selesai diupacarai dan diberi doa, lalu dengan berpakaian wayang tokoh Gatotkaca, pangeran pakaian khas sunda dengan ciri menggunakan bendo(sejenis topi mirip blangkon, putri kerajaan penunggang perempuan di dandani layaknya putri raja ada juga pakaian yang mewakilkan budaya baru seperti peri bersayaplayaknya dongeng dari negri barat, dinaikan ke atas kuda Renggong lalu diarak meninggalkan rumahnya berkeliling, mengelilingi desa.
Musik pengiring dengan penuh semangat mengiringi sambung menyambung dengan tembang-tembang yang dipilih, antara lain Kaleked, Mojang Geulis, Rayak-rayak, Ole-ole Bandung, Kembang Beureum, Kembang Gadung, Jisamsu, dll. Sepanjang jalan Kuda Renggong bergerak menari dikelilingi oleh sejumlah orang yang terdiri dari anak-anak, juga remaja desa, bahkan orang-orang tua mengikuti irama musik yang semakin lama semakin meriah. Panas dan terik matahari seakan-akan tak menyurutkan mereka untuk terus bergerak menari dan bersorak sorai memeriahkan anak sunat. Kadangkala diselingi dengan ekspose Kuda Renggong menari, semakin terampil Kuda Renggong tersebut penonton semakin bersorak dan bertepuk tangan. Seringkali juga para penonton yang akan kaul dipersilahkan ikut menari.
Setelah berkeliling desa, rombongan Kuda Renggong kembali ke rumah anak sunat, biasanya dengan lagu Pileuleuyan (perpisahan). Lagu tersebut dapat dilantunkan dalam bentuk instrumentalia atau dinyanyikan. Ketika anak sunat selesai diturunkan dari Kuda Renggong, biasanya dilanjutkan dengan acara saweran (menaburkan uang logam dan beras putih) yang menjadi acara yang ditunggu-tunggu, terutama oleh anak-anak desa.
Dari dua bentuk pertunjukan Kuda Renggong, jelas muncul musik pengiring yang berbeda. Musik pengiring Kuda Renggong di desa-desa, biasanya cukup sederhana, karena umumnya keterbatasan kemampuan untuk memiliki alat-alat musik (waditra) yang baik. Umumnya terdiri dari kendang, bedug, goong, trompet, genjring kemprang, ketuk, dan kecrek. Ditambah dengan pembawa alat-alat suara (speaker toa, ampli sederhana, mike sederhana). Sementara musik pengiring Kuda Renggong di dalam festival, biasanya berlomba lebih "canggih" dengan penambahan peralatan musik terompet, Bass, keyboard organ, simbal, drum, tamtam, dll. Juga di dalam alat-alat suaranya.
Makna yang secara simbolis berdasarkan beberapa keterangan yang berhasil dihimpun, diantaranya
· Makna spiritual: semangat yang dimunculkan adalah merupakan rangkaian upacara inisiasi (pendewasaan) dari seorang anak laki-laki yang disunat. Kekuatan Kuda Renggong yang tampil akan membekas di sanubari anak sunat, juga pemakaian kostum tokoh wayang Gatotkaca yang dikenal sebagai figur pahlawan;
· Makna interaksi antar mahluk Tuhan: kesadaan para pelatih Kuda Renggong dalam memperlakukan kudanya, tidak semata-mata seperti layaknya pada binatang peliharaan, tetapi memiliki kecenderungan memanjakan bahkan memposisikan kuda sebagai mahluk Tuhan yang dimanjakan, baik dari pemilihan, makanannya, perawatannya, pakaiannya, dan lain-lain;
· Makna teatrikal: pada saat-saat tertentu di kala Kuda Renggong bergerak ke atas seperti berdiri lalu di bawahnya juru latih bermain silat, kemudian menari dan bersilat bersama. Nampak teatrikal karena posisi kuda yang lebih tampak berwibawa dan mempesona. Atraksi ini merupakan sajian yang langka, karena tidak semua Kuda Renggong, mampu melakukannya;
· Makna universal: sejak zaman manusia mengenal binatang kuda, telah menjadi bagian dalam hidup manusia di pelbagai bangsa di pelbagai tempat di dunia. Bahkan kuda banyak dijadikan simbol-simbol, kekuatan dan kejantanan, kepahlawanan, kewibawaan dan lain-lain.
Sipan adalah anak peternak kuda yang berasal dari Buahdua, Sipan tergerak hatinya untuk mengamati gerak kuda peliharaannya terutama pada gerakan kepala dan kaki, gerakan-gerakan itulah yang menjadi dasar intuisi dalam hal penciptaan kesenian Kuda Renggong (kuda yang bisa menari).
Menurut tuturan beberapa seniman, Kuda Renggong muncul pertama kali dari desa Cikurubuk, Kecamatan Buah Dua, Kabupaten Sumedang. Di dalam perkembangannya Kuda Renggong mengalami perkembangan yang cukup baik, sehingga tersebar ke berbagai desa di beberapa kecamatan di luar Kecamatan Buah Dua. Dewasa ini, Kuda Renggong menyebar juga ke daerah lainnya di luar Kabupaten Sumedang.
Sebagai seni pertunjukan rakyat yang berbentuk seni helaran (pawai, karnaval), Kuda Renggong telah berkembang dilihat dari pilihan bentuk kudanya yang tegap dan kuat, asesoris kuda dan perlengkapan musik pengiring, para penari, dll., dan semakin hari semakin semarak dengan pelbagai kreasi para senimannya. Hal ini tercatat dalam setiap festival Kuda Renggong yang diadakan setiap tahunnya. Akhirnya Kuda Renggong menjadi seni pertunjukan khas Kabupaten Sumedang. Kuda Renggong kini telah menjadi komoditi pariwisata yang dikenal secara nasional dan internasional.
Pertunjukan Kuda Renggong dilaksanakan setelah anak sunat selesai diupacarai dan diberi doa, lalu dengan berpakaian wayang tokoh Gatotkaca, pangeran pakaian khas sunda dengan ciri menggunakan bendo(sejenis topi mirip blangkon, putri kerajaan penunggang perempuan di dandani layaknya putri raja ada juga pakaian yang mewakilkan budaya baru seperti peri bersayaplayaknya dongeng dari negri barat, dinaikan ke atas kuda Renggong lalu diarak meninggalkan rumahnya berkeliling, mengelilingi desa.
Musik pengiring dengan penuh semangat mengiringi sambung menyambung dengan tembang-tembang yang dipilih, antara lain Kaleked, Mojang Geulis, Rayak-rayak, Ole-ole Bandung, Kembang Beureum, Kembang Gadung, Jisamsu, dll. Sepanjang jalan Kuda Renggong bergerak menari dikelilingi oleh sejumlah orang yang terdiri dari anak-anak, juga remaja desa, bahkan orang-orang tua mengikuti irama musik yang semakin lama semakin meriah. Panas dan terik matahari seakan-akan tak menyurutkan mereka untuk terus bergerak menari dan bersorak sorai memeriahkan anak sunat. Kadangkala diselingi dengan ekspose Kuda Renggong menari, semakin terampil Kuda Renggong tersebut penonton semakin bersorak dan bertepuk tangan. Seringkali juga para penonton yang akan kaul dipersilahkan ikut menari.
Setelah berkeliling desa, rombongan Kuda Renggong kembali ke rumah anak sunat, biasanya dengan lagu Pileuleuyan (perpisahan). Lagu tersebut dapat dilantunkan dalam bentuk instrumentalia atau dinyanyikan. Ketika anak sunat selesai diturunkan dari Kuda Renggong, biasanya dilanjutkan dengan acara saweran (menaburkan uang logam dan beras putih) yang menjadi acara yang ditunggu-tunggu, terutama oleh anak-anak desa.
Dari dua bentuk pertunjukan Kuda Renggong, jelas muncul musik pengiring yang berbeda. Musik pengiring Kuda Renggong di desa-desa, biasanya cukup sederhana, karena umumnya keterbatasan kemampuan untuk memiliki alat-alat musik (waditra) yang baik. Umumnya terdiri dari kendang, bedug, goong, trompet, genjring kemprang, ketuk, dan kecrek. Ditambah dengan pembawa alat-alat suara (speaker toa, ampli sederhana, mike sederhana). Sementara musik pengiring Kuda Renggong di dalam festival, biasanya berlomba lebih "canggih" dengan penambahan peralatan musik terompet, Bass, keyboard organ, simbal, drum, tamtam, dll. Juga di dalam alat-alat suaranya.
Makna yang secara simbolis berdasarkan beberapa keterangan yang berhasil dihimpun, diantaranya
· Makna spiritual: semangat yang dimunculkan adalah merupakan rangkaian upacara inisiasi (pendewasaan) dari seorang anak laki-laki yang disunat. Kekuatan Kuda Renggong yang tampil akan membekas di sanubari anak sunat, juga pemakaian kostum tokoh wayang Gatotkaca yang dikenal sebagai figur pahlawan;
· Makna interaksi antar mahluk Tuhan: kesadaan para pelatih Kuda Renggong dalam memperlakukan kudanya, tidak semata-mata seperti layaknya pada binatang peliharaan, tetapi memiliki kecenderungan memanjakan bahkan memposisikan kuda sebagai mahluk Tuhan yang dimanjakan, baik dari pemilihan, makanannya, perawatannya, pakaiannya, dan lain-lain;
· Makna teatrikal: pada saat-saat tertentu di kala Kuda Renggong bergerak ke atas seperti berdiri lalu di bawahnya juru latih bermain silat, kemudian menari dan bersilat bersama. Nampak teatrikal karena posisi kuda yang lebih tampak berwibawa dan mempesona. Atraksi ini merupakan sajian yang langka, karena tidak semua Kuda Renggong, mampu melakukannya;
· Makna universal: sejak zaman manusia mengenal binatang kuda, telah menjadi bagian dalam hidup manusia di pelbagai bangsa di pelbagai tempat di dunia. Bahkan kuda banyak dijadikan simbol-simbol, kekuatan dan kejantanan, kepahlawanan, kewibawaan dan lain-lain.
Daya tarik yang terdapat
dalam atraksi seni kuda renggong, antara lain keterampilan gerak Sang
Kuda melakukan gerakan gerakan kaki, kepala dan badan mengikuti irama
musik yang mengiringinya.
Hewan yang pandai menari, bergoyang, dan bersilat telah menjadi bagian dari upacara penyambutan tamu kehormatan, mulai dari bupati, gubernur sampai mentri dan pejabat lainnya.
Hewan yang pandai menari, bergoyang, dan bersilat telah menjadi bagian dari upacara penyambutan tamu kehormatan, mulai dari bupati, gubernur sampai mentri dan pejabat lainnya.
2. Seni Tari
Atraksi Seni Tari yang ada di Kabupaten Sumedang terdiri dari berbagai jenis seni tari, yaitu :
- Tari Pancawarna
Tarian ini menggambarkan tentang seseorang yang (baru) telah mendapatkan ilmu kesempurnaan hidup.
Tarian ini menggambarkan tentang seseorang yang (baru) telah mendapatkan ilmu kesempurnaan hidup.
- Tari Jayengrana
- Tari Gandawanah
Asal kata dari Jaya ing
rana. Sebuah tarian yang menggambarkan kegembiraan Raja Amir Hamzah
ketika ditolong oleh dua putri cantik: Dewi Sirtupulati dan Ratu
Sudarawerti untuk dapat melepaskan diri dari tahanan Raja Banu.
Menggambarkan seorang patriot bangsa yang memiliki sikap tidak angkung dan sombong. Ibarat ilmu padi makin berisi makin merunduk.
- Tari Gatot Gaca Gandrung
Sebuah tarian yang
menggambarkan ketika Gatotgaca cinta kepada Dewi Pergiwa Pergiwati.
Tampaknya akibat mabuk kepayang sehingga Gatotgaca lengah. Dalam
kondisi psikologis seperti ini maka dimanfaatkan oleh buta cakil untuk
menyerangnya dengan leluasa.
Namun demikian, berkat kekuatan dan keampuhan ilmu yang dimilikinya, Gatotgasa bisa tetap unggul dalam pertarungan.
- Tari Ibing Serimpi
Menggambarkan lima orang
putri di bawah pimpinan Nyi Mas Gilang Kencana ketika mengawal Prabu
Geusan Ulun dan Permasurinya Nyi Mas Gedeng Waru terjadi clsh dengan
pasukan Cirebon.
- Tari Topeng Jayengrasana
Menggambarkan Sang Dewi Sekar Kendoja berjuang menolong suaminya Rd. Gagak Pranda ketika menghadapi jurit dengan Barun.
Pionir pencipta tari topeng kasumedangan adalah Raden Ono Lesmana
dengan memadukan unsur tarian khas topeng Cirebon dengan unsur tari wayang,
yang karyanya lebih dikenal dengan nama tari topeng Jayengrasana.
3. Tarawangsa
Jenis kesenian ini muncul karena kalangenan para petani pada waktu sibuk panen. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya merupakan cerminan kegembiraan dan rasa syukur para petani pada waktu panen. Kesenian ini menonjol di daerah Kecamatan Rancakalong Sumedang Jawa Barat.
Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain; sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kemudian, sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kecapi, yang disebut Jentreng.
Kesenian Tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Dalam kesenian Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain digunakan dua jenis alat tersebut di atas, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, juga nyanyian.
Alat musik tarawangsa dimainkan dalam laras pelog, sesuai dengan jentrengnya yang distem ke dalam laras pelog. Demikian pula repertoarnya, misalnya tarawangsa di Rancakalong terdiri dari dua kelompok lagu, yakni lagu-lagu pokok dan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu tambahan, yang semua berlaraskan pelog. Lagu pokok terdiri dari lagu Pangemat/pangambat, Pangapungan, Pamapag, Panganginan, Panimang, Lalayaan dan Bangbalikan. Ketujuh lagu tersebut dianggap sebagai lagu pokok, karena merupakan kelompok lagu yang mula-mula diciptakan dan biasa digunakan secara sakral untuk mengundang Dewi Sri. Sedangkan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu yang tidak termasuk ke dalam lagu pokok terdiri dari Saur, Mataraman, Iring-iringan (Tonggeret),Jemplang, Limbangan, Bangun, Lalayaan, Karatonan, Degung, Sirnagalih, Buncis, Pangairan, Dengdo, Angin-angin, Reundeu, Pagelaran, Ayun Ambing, Reundeuh Reundang, Kembang Gadung,Onde, Legon (koromongan), dan Panglima.
Lagu-lagu Tarawangsa di Rancakalong jauh lebih banyak jumlahnya daripada lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran dan Cibalong. Lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran di antaranya terdiri dari Pangrajah, Panimang, Bajing Luncat, Pangapungan, Bojong Kaso, dan Cukleuk. Sementara lagu-lagu Tarawangsa di Cibalong di antaranya terdiri dari Salancar, Ayun, Cipinangan, Mulang, Manuk Hejo, Kang Kiai, Aleuy, dan Pangungsi.
Sebagaimana telah disinggung di atas, alat musik pokok kesenian tarawangsa terdiri dari tarawangsa dan jentreng. Menurut sistem klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel, Tarawangsa diklasifikasikan sebagai Chordophone, sub klasifikasi neck-lute, dan Jentreng diklasifikasikan juga sebagai Chordophone, sub klasifikasi zither. Sedangkan menurut cara memainkannya, tarawangsa diklasifikasikan sebagai alat gesek dan jentreng diklasifikasi sebagai alat petik. Alat musik tarawangsa terbuat dari kayu kenanga, jengkol, dadap, dan kemiri. Dalam ensambel, tarawangsa berfungsi sebagai pembawa melodi (memainkan lagu), sedangkan jentreng berfungsi sebagai pengiring (mengiringi lagu).
Pemain tarawangsa hanya terdiri dari dua orang, yaitu satu orang pemain tarawangsa dan satu orang pemain jentreng. Semua Pemain Tarawangsa terdiri dari laki-laki, dengan usia rata-rata 50 – 60 tahunan. Mereka semuanya adalah petani, dan biasanya disajikan berkaitan dengan upacara padi, misalnya dalam ngalaksa, yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Dalam pertunjukannya ini biasanya melibatkan para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka menari secara teratur. Mula-mula Saehu/Saman (laki-laki), disusul para penari perempuan. Mereka bertugas ngalungsurkeun (menurunkan) Dewi Sri dan para leluhur. Kemudian hadirin yang ada di sekitar tempat pertunjukan juga ikut menari. Tarian tarawangsa tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-gerakan khusus yang dilakukan Saehu dan penari perempuan yang merupakan simbol penghormatan bagi dewi padi. Menari dalam kesenian Tarawangsa bukan hanya merupakan gerak fisik semata-mata, melainkan sangat berkaitan dengan hal-hal metafisik sesuai dengan kepercayaan si penari. Oleh karena itu tidak heran apabila para penari sering mengalami trance (tidak sadarkan diri).
Sebagai alat musik gesek, tarawangsa tentu saja dimainkan dengan cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai yang paling dekat kepada pemain; sementara dawai yang satunya lagi dimainkan dengan cara dipetik dengan jari telunjuk tangan kiri. Kemudian, sebagai nama salah satu jenis musik, tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kecapi, yang disebut Jentreng.
Kesenian Tarawangsa hanya dapat ditemukan di beberapa daerah tertentu di Jawa Barat, yaitu di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong, Cipatujah (Tasikmalaya Selatan), Banjaran (Bandung), dan Kanekes (Banten Selatan). Dalam kesenian Tarawangsa di daerah Cibalong dan Cipatujah, selain digunakan dua jenis alat tersebut di atas, juga dilengkapi dengan dua perangkat calung rantay, suling, juga nyanyian.
Alat musik tarawangsa dimainkan dalam laras pelog, sesuai dengan jentrengnya yang distem ke dalam laras pelog. Demikian pula repertoarnya, misalnya tarawangsa di Rancakalong terdiri dari dua kelompok lagu, yakni lagu-lagu pokok dan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu tambahan, yang semua berlaraskan pelog. Lagu pokok terdiri dari lagu Pangemat/pangambat, Pangapungan, Pamapag, Panganginan, Panimang, Lalayaan dan Bangbalikan. Ketujuh lagu tersebut dianggap sebagai lagu pokok, karena merupakan kelompok lagu yang mula-mula diciptakan dan biasa digunakan secara sakral untuk mengundang Dewi Sri. Sedangkan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu yang tidak termasuk ke dalam lagu pokok terdiri dari Saur, Mataraman, Iring-iringan (Tonggeret),Jemplang, Limbangan, Bangun, Lalayaan, Karatonan, Degung, Sirnagalih, Buncis, Pangairan, Dengdo, Angin-angin, Reundeu, Pagelaran, Ayun Ambing, Reundeuh Reundang, Kembang Gadung,Onde, Legon (koromongan), dan Panglima.
Lagu-lagu Tarawangsa di Rancakalong jauh lebih banyak jumlahnya daripada lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran dan Cibalong. Lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran di antaranya terdiri dari Pangrajah, Panimang, Bajing Luncat, Pangapungan, Bojong Kaso, dan Cukleuk. Sementara lagu-lagu Tarawangsa di Cibalong di antaranya terdiri dari Salancar, Ayun, Cipinangan, Mulang, Manuk Hejo, Kang Kiai, Aleuy, dan Pangungsi.
Sebagaimana telah disinggung di atas, alat musik pokok kesenian tarawangsa terdiri dari tarawangsa dan jentreng. Menurut sistem klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel, Tarawangsa diklasifikasikan sebagai Chordophone, sub klasifikasi neck-lute, dan Jentreng diklasifikasikan juga sebagai Chordophone, sub klasifikasi zither. Sedangkan menurut cara memainkannya, tarawangsa diklasifikasikan sebagai alat gesek dan jentreng diklasifikasi sebagai alat petik. Alat musik tarawangsa terbuat dari kayu kenanga, jengkol, dadap, dan kemiri. Dalam ensambel, tarawangsa berfungsi sebagai pembawa melodi (memainkan lagu), sedangkan jentreng berfungsi sebagai pengiring (mengiringi lagu).
Pemain tarawangsa hanya terdiri dari dua orang, yaitu satu orang pemain tarawangsa dan satu orang pemain jentreng. Semua Pemain Tarawangsa terdiri dari laki-laki, dengan usia rata-rata 50 – 60 tahunan. Mereka semuanya adalah petani, dan biasanya disajikan berkaitan dengan upacara padi, misalnya dalam ngalaksa, yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Dalam pertunjukannya ini biasanya melibatkan para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka menari secara teratur. Mula-mula Saehu/Saman (laki-laki), disusul para penari perempuan. Mereka bertugas ngalungsurkeun (menurunkan) Dewi Sri dan para leluhur. Kemudian hadirin yang ada di sekitar tempat pertunjukan juga ikut menari. Tarian tarawangsa tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-gerakan khusus yang dilakukan Saehu dan penari perempuan yang merupakan simbol penghormatan bagi dewi padi. Menari dalam kesenian Tarawangsa bukan hanya merupakan gerak fisik semata-mata, melainkan sangat berkaitan dengan hal-hal metafisik sesuai dengan kepercayaan si penari. Oleh karena itu tidak heran apabila para penari sering mengalami trance (tidak sadarkan diri).
4. Rengkong
Tarian ini biasanya
dilakukan setelah panen, sebagai rasa terima kasih kepada Dewi Sri.
Selesai panen padi itu dahulu merupakan geugeusan = diikat) dibawa ke
suatu tempat yang menjadi milik kepentingan bersama seperti Balai Desa
atau Lumbung Desa. Iringan iringan itu didahului dengan membawa
umbul-umbul kemudian disusul dengan pikulan yang merupakan iringan
rengkong. Untuk keperluan itu, pikulan dibuat dari batang bambu yang
diatur sehingga bila di gerakan setelah digantungi padi, maka dengan
adanya gesekan tali kepada batang bambu itu menimbulkan suara yang
berirama. makin banyak memikul makin meriah rengkng itu. Barisan
rengkong di susul oleh pembawa alat-alat tatanen, dan paling belakang
barisan angklung dan dogdog jojor.Tabuhan itulah yang paling
memeriahkan suasana. Sesampainya di tempat yang dituju, barisan
angklung dan dogdog.
5. Tayub
Melihat asal-usulnya,
tarian tayub muncul dari kalangan menak. Tetapi, sekarang bukan hanya
para menak yang boleh menari dalam tayuban. Dahulu, menurut Enoch
Atmadibrata, alasan tayuban disukai karena memperebutkan para penari
yang disebut ronggeng. “Sayangnya, banyak kejadian yang menyinggung
kesusilaan, misalnya berani menyelipkan uang ke dada ronggeng atau
menggigit uang sambil berharap diterima oleh sang ronggeng dengan
digigit lagi, tapi hal seperti itu sekarang tidak ada lagi. Tarian ini
mengungkapkan kegembiraan.Gerakannya merupakan improvisasi. Secara
spontanitas, penari tayub bisa menciptakan improvisatoris, tapi
tetapsesuai dengan musik pengiring.
Tarian tayub bisa
dijadikan sebagai ajang silaturahmi. Artinya, tarian tayub bukan
tampilan tari yang memisahkan penonton dengan yang ditontonnya.Dalam
tayub semua yang ada (para hadirin) bisa ikut menari walaupun
sebenarnya tidak bisa. Dalam tarian tayub ada hal yang menyerupai
tarian ketuk tilu., yaitu menghibur, penonton yang menari sambil ikut
menari. Perbedaannya dalam prakteknya dan perlengkapan
lainnya.Gerakannya merupakan improvisasi. Ada yang menyebutkan bahwa
tarian tayub berasal dari tarian silaturahmi di kalangan para menak,
sedangkan ketuk tilu di kalangan rakyat biasa.Ada yang menyebutkan
bahwa tarian tayub berasal dari tarian silaturahmi di kalangan para
menak, sedangkan ketuk tilu di kalangan rakyat biasa.
6. kecapi suling
Seni Kecapi Suling
merupakan suatu kesenian tradisional dan merupakan salah satu ciri
kahs kesenian Sumedang, dimana sesuia dengan namanya kesenian ini
menggunakan alat kesenian dengan sebuah Kecapi dan Suling yang
mengiringi penyanyi.
B. SITUS/PENINGGALAN
1. Cadas Pangeran
Bila memasuki kota
Sumedang dari arah Bandung, pasti akan melewati Jalan Cadas Pangeran.
Gugusan Gunung Batu yang dipisahkan oleh tebing yang curam dan terjal
setinggi kurang lebih 150 m, telah menyimpan sejarah yang paling buram
dan pahit. Ribuan rakyat Sumedang dihujani paksaan Belanda, dikenal
dengan istilah kerja rodi (kerja siksaan) untuk membobok gunung batu
sebagai terwujudnya poros jalan Anyer - Panarukan sebagaimana
dicitacitakan Gubernur Jendral Herman Wiliam Daendels. Saat ini lokasi Cadas
Pangeran telah mendapat penataan, sehingga menjadi simpul wisata
Kabupaten Sumedang, dimana suasana yang seram telah menjadi
mengesankan dan ramah.
2 Makam Coet Nyak Dhien
Ada beberapa makam yang
bersejarah yaitu : Makam Tjoet Nyak Dhien, Dayeuh Luhur, Prabu Gajah
Agung, dan Marongge yang kesemuanya menyimpan sejarahnya masih-masing.
Tjoet Nyak Dhien adalah pejuang wanita dari tanah Rencong Aceh
terkenal paling keras menentang dominasi Kolonial Belanda, dan pada
tahun 1906 tertanggkap oleh Belanda dan dibuang ke Sumedang. Beliau
wafat pada tanggal 6 Nopember 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh,
letaknya tidak jauh dari Kantor Pemerintahan Sumedang.
3. Gunung Kunci
Bukit kecil yang
ditumbuhi tanaman pinus ternyata memiliki sejarah yang unik. Disini
terdapat sebuah Goa yang disebut GOA KOENTJI yang dibuat tahun 1917
oleh Belanda.
Di dalam goa tersebut terdapat lorong-lorong besar dan kecil yang menghubungkan kamar-kamar yang ada di dalam goa tersebut. Goa ini digunakan selain untuk pertahanan Belanda juga sebagai tempat tawanan dan gudang senjata.
Di dalam goa tersebut terdapat lorong-lorong besar dan kecil yang menghubungkan kamar-kamar yang ada di dalam goa tersebut. Goa ini digunakan selain untuk pertahanan Belanda juga sebagai tempat tawanan dan gudang senjata.
4. Museum Prabu Geusan Ulun
Berdirinya Museum ini
atas prakarsa Keluarga Pangeran Sumedang, didalamnya terdapat
benda-benda pusaka peninggalan leluhur Sumedang seperti Mahkota
Binokasih Sanghi Pake (terbuat dari emas murni) lambang kebesaran
Raja-Raja Pajajaran, Kereta Naga Paksi (terbuat dari besi baja dan
perak dengan ukiran khas Sumedang Cirebon) yang digunakan oleh
Raja-raja Sumedang dahulu, Senjata-senjata perang Belanda masa dulu
dan benda -benda pusaka lainnya. Pada tahun 1974 nama museum ini
diganti damanya menjadi Museum Prabu Geusan Ulun, bentuk bangunan tidak
mengalami perubahan dan sangat artistik.
5. Dayeuh Luhur
ObyekWisata Ziarah,
terdapat makam leluhur Sumedang (Prabu Geusan Ulun, raja terakhir
Sumedang Larang, Ratu Harisbaya sebagai istri ke tiga dan Embah Jaya
Perkosa sebagai patihnya terletak di puncak pegunungan yang keadaan
alam dan udaranya masih asli dan sejuk, berada di Desa Dayeuh luhur
Kecamatan Ganeas. Prabu Jaya Perkosa tokoh ini sangat di kenal oleh
masyarakat khususnya Orang Sumedang, tokoh ini telah membawa kebesaran
Sumedang pada waktu itu ketika Sumedang berususan/sengketa dengan
kerajaan Cirebon di karenakan Putri Harisbaya. Dalam hal ini merupakan
satu ciri atau kisah tersendiri bagi masyarakat Sumedang dan bisa di
katakan suatu tanda kejayaan Sumedang yang harumnya dikarena seorang
tokoh yang sangat punya kesaktian dan andalan Sumedang Larang pada
waktu itu.
Kisah Hanjuang
Eyang Jaya Perkosa
sebagai senapati terakhir sebelum runtuhnya kerajaan Pakuan
Padjajaran, berhasil menyelamatkan Mahkota Kerajaan (Binokasih) serta
atribut kerajaan lainnya dan diserahkan kepada raja Sumedang Larang
dan sejak saat itu penyerahan mahkota tersebut beliau menjadi Senapati
Kerajaan Sumedang Larang. Persoalan Putri Harisbaya dengan Pangeran
Geusan Ulun menjadikan perselisihan antara Cirebon dan Sumedang
Larang, sehingga Cirebon mengirim pasukannya menyerang Kutamaya.
Namun pasukan Cirebon
tidak berhasil mencapai sasarannya karena dihadang oleh pasukan
Sumedang Larang yang berada dibawah pimpinan Senapati Eyang Jaya
Perkosa.
Konon sebelum Eyang Jaya
Perkosa pergi menghadang pasukan Cirebon, beliau menanam pohon
Hanjuang di Kutamaya dan meninggalkan amanat : ”Jika Pohon hanjuang
ini masih segar, menandakan aku masih hidup dan jangan tinggalkan
Kutamaya”.
Syahdan menurut cerita
pada saat pertempuran, Eyang Jaya Perkosa terpisah dari ketiga
saudaranya yang turut dalam pertempuran itu.
Salah satu dari
saudaranya yang bernama Nangganan, menduga bahwa Eyang Jaya Perkosa
telah gugur dalam pertempuran tersebut, sehingga mereka memutuskan
kembali ke Kutamaya untuk menyarankan kepada Pangeran Geusan Ulun agar
memindahkan pusat Pemerintahan Sumedang Larang dari Kutamaya ke
Dayeuh Luhur sebagai basis pertahanan yang sangat strategis.
Penyerahan daerah
Sindangkasih (Majalengka) sebagai pembayaran talak kepada raja Cirebon
serta perkawinan putri Harisbaya dengan Pangeran Geusan Ulun telah
mendamaikan perselisihan antara Cirebon dan Sumedang Larang.
Senapati Eyang Jaya
Perkosa yang kembali dari medan perang menemukan Kutamaya telah di
tinggalkan.Tentu saja beliau sangat menyesalkan tindakan Pangeran
Geusan Ulun dan sesampainya di Dayeuh Luhur beliau membunuh Nangganan,
saudaranya atas kesalahannya itu.
Konon kekecewaan Eyang
Jaya Pekosa yang sebenarnya adalah harapan untuk mengembalikan
kebesaran dan kejayaan Kerajaan Pakuan Padjajaran melalui kerajaan
Sumedang Larang telah gagal.
Sementara pohon Hanjuang
yang ditanam oleh Eyang Jaya Perkosa sampai saat ini masih tumbuh
subur di Kutamaya (ds. Padasuka Kecamatan Sumedang Utara).
Dendam dan kebencian
terhadap musuh juga diisyaratkan kepada keturunannya kelak apabila
berziarah ke makamnya dilarang berpakaian BATIK yang menurut
pendapatnya sebagai ciri khas pakaian musuh-musuhnya.
6. Marongge
Tempat makam tilemnya
Embah Gabug dan saudara-saudaranya/adiknya yaitu : Embah Setayu, Embah
Naibah dan Embah Naidah. Menurut cerita ke-4 (empat) putri ini sangat
cantik tatkala banyak orang/raja-raja pada waktu itu yang ngin
mempersuntingnya karena ke-4 (empat) putri itu sangat cantik, namun
selalu gagal karena mereka tidak sanggup mengalahkan kesaktian Embah
Gabug. Obyek Ziarah Marongge terletak di Desa Marongge Kecamatan Tomo,
jaraknya ± 4 km dari Jalan Raya Bandung Cirebon. Setiap saat banyak
dikunjungi terutama pada Jum’at kliwon dengan maksud dan tujuannya
untuk meminta barokah dari Embah Gabug dan saudara-saudaranya.
7. Situs Tembong Agung
Kerajaan Tembong Agung
yang pusat Pemerintahannya di Leuwi Hideung (Ds. Leuwi, Hideung Kc.
Darmaraja) masa itu berada di bawah kekuasaan Prabu Guru Aji Putih
(1472 M - 1482 M) merupakan cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. Di
kampung Kondang, Desa Muhara/Leuwi Hideung kecamatan Darmaraja dapat
ditemukan petilasan Kerajaan Tembong Agung, berupa pohon Kiara Bunut.
Konon pohon ini terletak di tengah Alun-alun Kerajaan dan diperkirakan
telah berusia 600 tahun. Situs ini akan terendam Jika Pembangunan
Waduk Jati Gede Selseai dibangun
8. Gunung Tampomas
Gunung Tampomas
merupakan gunung tertinggi diKabupaten Sumedang pemandangan yang indah
dan gunung ini masih tetap alami dan merupakan tempat mendaki bagi
yang hoby berpetualang naik gunug. Konon di Tempat ini pernah dipakai peristirahatan (semedi/paseban) Prabu Siliwangi Raja Pakuan Padjajaran.
C. OBYEK WISATA
1. Curug Cipongkor
Curug Cipongkortak
kurang punya rasa indah dari kekayaan alam yang dianugrahkan oleh
tuhan yang bisa memberi kesan menentramkan bagi manusia yang
mengunjungi air terjun sangat menarik serta lingkungan alam sekitarnya
yang masih alami.Wilayah ini masih dikatakan masih terjaga
kelestrarian alamnya sehinga sangat menarik bagi pengunjung. Untuk
menuju ke lokasi ini harus berjalan kaki sepanjang 3 km. Lokasinya
terletak di Desa Ciberang kecamatan Sumedang Selatan.
2. Gunung Lingga
Obyek Wisata terletak
di Desa Cimarga Kecamatan Cisitu, . Di sini terdapat makam/petilasan
Prabu Tajimalela. Prabu Tajimalela adalah Raja Sumedang Larang yang ke
dua letaknya di puncak pegunungan yang keadaan alam dan udaranya
masih asli dan sejuk dari tempat ini kita dapat melihat jauh ke
sebelah barat laut akan terlihat wilayah Kecamatan Darmaraja yang konon
tempat Ibu Kota Kerajaan Sumedang Larang yang pertama kali didirikan
oleh Ayah handa Prabu Tajimalela yaitu Prabu Guru Aji Putih.
Peninggalan dari Prabu
Tajimalela adalah situs batuan menhir yang terdapat dipuncak Gunung
Lingga, desa Cimarga, kecamatan Cisitu. Di tempat ini Prabu Tajimalela
NGAHYANG atau menghilang setelah takhta kerajaan Sumedang Larang
diwariskan kepada putranya yang bernama Prabu Gajah Agung. Petilasan
ini terletak di Gunung Lingga Desa Cinarga Kecamatan Cisitu, jaraknya ±
12 km dari Ibu kota Kecamatan dengan menggunakan kendaraan bak
terbuka, dan untuk menempuh lebih lanjut harus berjalan kaki dari
Cimarga dengan menempuh jarak 2 km.
3. Cipanteneun
Kolam Renang Alam yang
sudah di modipikasi dengan dilengkapi oleh sarana penunjang lainnya,
sehingga sangat cok untuk tempat rekreasi. Obyek wisata Alam ini
tempatnya terletak di Desa Licin kurang lebih satu kilometer dari Ibu
Kota Kecamatan Cimalaka. Lokasi tempat berhibur ini sangat mudah
dukunjungi karena kendaraan umum banyak yang melewati pada areal
pemandian Alam ini. Dari arah terminal Ciakar Sumedang anda hanya naik
satu kali dengan kendaraan umum untuk mencapai lokasi Pemandian ini.
4. Curug Sindulang
Di Sumedang terdapat 5
buah curug yaitu: Curug Sindulang, Curug Cipongkor, Curug Sabuk, Curug
Cibuluh dan Curug Tirta Buana. Kesemua curug tersebut mempunyai
keistimewaan masing-masing sebagai daya tarik tersendiri. Curug
Sindulang merupakan curug kembar yang berketinggian kurang lebih 30 m,
dengan hawanya yang sejuk dan pemandangan alam yang indah. Curug
sindulang terletak di Desa Sindulang Kecamatan
Cimanggung, dapat
dilalui kendaraan. Akan lebih mudah ditempuh apabila menggunakan
lintas jalan Cicalengka (Bandung) dengan jurusan Cicalengka
Leuwiliang.
5. Cipanas Conggeang
Cipanas Conggeang
merupakan objek wisata Air Panas yang terletak di Desa Sekarwangi
Kecamatan Buahdua dengan jarak kurang lebih 18 Km dari kota Sumedang.
Objek wisata Air Panas ini mempunyai khasiat bagi penyembuhan penyakit
kulit, sering didatangi pengunjung untuk berobat sekalian menikmati
kesejukan iklimnya dan keindahan pemandangannya. Untuk para penginap
telah disediakan Cottage dan kamar mandi air panas.
6. Kampung Toga
Kampung Toga terletak
di desa Sukajaya Kecamatan Sumedang Selatan. Kampung Togamerupakan
tempat untuk melepaskan lelah yang disekelilingnya dipenuhi dengan
tumbuhan obat-obatan dari sana kita bisa memandang kota sumedang.
D. POTENSI UNGGULAN LAINNYA
1. Ubi Cilembu
Ubi jalar Nirkum
merupakan salah satu komoditas pertanian yang dijadikan produk
unggulan. Ubi jalar ini memiliki rasa yang khas (manis, legit) itu
hanya ada di desa Cilembu Kecamatan Tanjungsari bersebelahan dengan
lokasi Perguruan Tinggi Jatinangor. Sehingga terkenal dengan sebutan
"Ubi Cilembu". Areal tanaman yang cocok
untuk ubi jalar nirkum di Desa Cilembu saat ini sekitar 100 Ha. Dimana
setiap hektar lahan, hanya mampu menghasilkan ubi sebanyak 10 ton
dengan lokasi berada di 4 blok yaitu Blok Sawah Lebak, Citiali, Sawah
Lega dan Sawah Legok. Sedangkan permintaan perharinya hampir mencapai
23,78 ton
2. Salak Bongkok
Salak Mukti dari desa
Bongkok yang berbatasan antara Kecamatan Paseh dan Conggeang dilihat
dari segi rasa lebih bervariasi, ada rasa manis, asem manis, asem dan
kesat.
Pada umumnya Salak Bongkok banyak dijual di pinggir jalan Negara antara Kecamatan Paseh dan Kecamatan Cimalaka ataupun di tempat lokasi ke arah Conggeang sekitar 2 Km
Pada umumnya Salak Bongkok banyak dijual di pinggir jalan Negara antara Kecamatan Paseh dan Kecamatan Cimalaka ataupun di tempat lokasi ke arah Conggeang sekitar 2 Km
3. Tahu
Jenis makanan yang
sangat menonjol dan telah dikenal di pulau jawa adalah Tahu Sumedang
yang terbuat dari kacang kedele dengan campuran yang khas Sumedang.
Pedagang tahu matang di Kota Sumedang cukup banyak yaitu sekitar 12
pedagang yang ternama.
Home industri pembuat tahu mempunyai potensi yang cukup baik untuk dikembangkan dan ditingkatkan ke arah pabrikan
Home industri pembuat tahu mempunyai potensi yang cukup baik untuk dikembangkan dan ditingkatkan ke arah pabrikan
4. Sale
Jenis makanan yang
sangat menonjol dan telah dikenal di pulau jawa adalah Tahu Sumedang
yang terbuat dari kacang kedele dengan campuran yang khas Sumedang.
Pedagang tahu matang di Kota Sumedang cukup banyak yaitu sekitar 12
pedagang yang ternama.
Home industri pembuat tahu mempunyai potensi yang cukup baik untuk dikembangkan dan ditingkatkan ke arah pabrikan
Home industri pembuat tahu mempunyai potensi yang cukup baik untuk dikembangkan dan ditingkatkan ke arah pabrikan
5. Ukiran Kayu
Ukiran dan lukisan pada
kayu di Kabupaten Sumedang menjadi salah satu komoditas yang unik serta
mempunyai ciri khas tersendiri. Ukiran pada kayu ini tidak terbatas pada
perabotan rumah tangga saja tapi juga pada sarana bangunan perkantoran
dan perumahan. Sampai saat ini pasaran ukiran kayu ini selain di dalam
negi juga sudah dipasarkan ke manca negara patung Asmat pun sudah
dapat dibuat disini.
6. Senapan Angin
Senjata seperti bedil,
pistol dan sebagainya, merupakan sarana perang yang umumnya dimiliki
kalangan militer. Akan tetapi bagi pengrajin sarana tersebut telah
menjadi dasar intuisi terhadap kelahiran Kerajinan Senapan Angin,
sebagai sarana olah raga atau olah raga menembak. Potensi industri
kerajinan tersebut paling menonjol di daerah Cipacing Kecamatan
Cikeruh. Jarak dari kota Bandung kurang lebih 17 Km, dari kota
Sumedang berjarak 28 Km. Hasil produksi tersebut telah menjamah ke
setiap kota di tanah air, bahkan diekspor ke luar negeri.
Hotel
Potensi penyediaan Akomodasi dalam menunjang Pariwisata Sumedang mempunyai peluang yang sangat besar dimasa yang akan datang
Pada saat ini di
Kabupaten Sumedang telah memiliki lebih dari 18 buah hotel dan
penginapan dengan kelas dan fasilitas yang beraneka ragam untuk
menunjang bila bendungan Jatigede selesai dikerjakan
Sebagai Informasi Hotel yang ada di Kabupaten Sumedang (daerah kota)
- Hotel Puri Muriara, Jl. Prabu geusan Ulun No. 22 Tlp (0261) 202 102
- Hotel Murni, Jl. Prabu Geusan Ulun No. 188 Tlp (0261) 201 139
- Hotel Hegarmanah, Jl Mayor Abdurachman 165 Tlp (0261) 201 820
- Hotel Kencana Jl. Pangeran Kornel Tlp (0261) 201 642
- Hotel Sutra, Jl Mayor Abdurachman 172 Tlp (0261) 201 742
- Kampung Toga Jl. Makam Cut Nyak Dien Gn. Puyuh Ds. Sukajaya Kecamatan Sumedang SelatanKab. Sumedang Tlp 0261-206567
- Pesona Sumedang Hotel - Resto Jalan Serang Km.3 Cimalaka No 43 Tlp. (0261) 207971 - 207970 Kabupaten Sumedang.
Kawasan pendidikan
Kawasan Pendidikan Sumedang Terdapat di Kecamatan Jatinangor yang mana dalam RUTR Bandung Raya Kota Jatinggor diarahkan sebagai penyangga perkembangan Kota Bandung dan Kawasan Pendidikan Tinggi di Kota Jatinangor telah terdapat beberapa perguruan Tinggi Negeri dan swasta yaitu : STPDN, ITB Jatinangor, Unpad dan Ikopin sehingga Kota ini cenderung lebih cepat berkembang dibandingankan kota-kota Kecamatan yang ada di Kabupaten Sumedang, karena pengaruh kebijakan RUTR Bandung Raya, Kota Jatinangor menjadi Kawasan Pendidikan Perguruan Tinggi Jawa Barat.
Sementara di Kota Sumedangnya sendiri telah ada pendidikan tingkat tinggi yaitu: Unsap Sumedang dan UPI Sumedang.
Kawasan Industri
Kawasan Industri yang berkembang di Kabupaten Sumedang yaitu di Kota Kecamatan Cimanggung dengan jenis industri textile, minuman dan makanan, sebagai penyangga perkembangan Industri Bandung Raya.
Bendungan Jatigede
Bendungan Jatigede mempunyai potensi yang nantinya, berfungsi utama untuk sarana irigasi dan pembangkit tenaga listrik. Selain kedua fungsi utama tadi, waduk pun berfungsi sebagai sarana budidaya perikanan air tawar, sarana olah raga air, sarana rekreasi, dan lain sebagainya.
Keberadaan waduk Jatigede secara konseptual bermanfaat bagi masyarakat Sumedang sendiri, bagi kabupaten-kabupaten di sekitar Sumedang (Majalengka, Indramayu dan Cirebon) maupun bagi Pulau Jawa umumnya. Bagi masyarakat dan pemerintah Sumedang, misalnya: retribusi listrik, perikanan air tawar dan pariwisata. Khusus untuk wilayah Pantura Jawa Barat (Kabupaten Majalengka, Indramayu dan Cirebon) adanya waduk Jatigede ini dapat mengatasi kekeringan pada musim kemarau dan mengendalikan banjir pada musim hujan. Waduk Jatigede pun dapat mengkontribusi pembangkit tenaga listrik. Secara kuantitatif, dampak positif dari keberadaan Waduk Jatigede ini adalah sebagai berikut :
Pembangunan bendungan mengandung beberapa tujuan, diantaranya untuk
irigasi dalam pengembangan sektor pertanian, Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA), pariwisata, air minum dan pengendalian banjir (Soemarwoto,
1983). Pembangunan waduk atau bendungan diharapkan mampu memberikan
manfaat bagi masyarakat secara berkelanjutan, sehingga pengelolaan waduk
beserta kawasan yang mempengaruhinya perlu melibatkan stakeholders
termasuk penduduk lokal yang terkena dampak, sejak perencanaan,
pelaksanaan sampai pengendalian. Berkaitan dengan hal tersebut,
pendekatan sistem bisa dilakukan. Pendekatan sistem dimulai dengan
dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan,
sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap
efektif. Melalui pendekatan sistem ini diharapkan mampu menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang kompleks dan melibatkan berbagai pihak
yang berkepentingan sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat
(Djakapermana, 2010).
Masalah banjir dan kekeringan selalu menjadi topik yang hangat
dibicarakan. Tidak saja di kalangan masyarakarat awam, bahkan diantara
pakar pengelolaan lingkungan dan pakar hidrologi juga sering kali silang
pendapat mengenai seberapa jauh peranan atau pengaruh perubahan
vegetasi terhadap berkurang atau bertambahnya hasil air di tempat
kegiatan tersebut berlangsung dan/atau di wilayah luar yang
dipengaruhinya. Dalam hal ini bahwa penanganan hulu Daerah Aliran Sungai
(DAS) sebagai daerah tangkapan air melalui kegiatan penanaman vegetasi
memiliki peranan penting dan strategis diantaranya dalam mempengaruhi
masalah banjir dan kekeringan, selain solusi di tengah atau hilir DAS
dalm bentuk pembangunan infrastruktur seperti bendungan (Asdak, 2002).
Waduk Jatigede dibangun untuk mengatasi berbagai permasalahan yang
muncul di daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk yang merupakan satu
kesatuan aliran Sungai Cimanuk dari 5 kabupaten yaitu Garut, Sumedang,
Majalengka, Indramayu, dan Cirebon. Permasalahan utama yang muncul di
wilayah ini adalah fluktuasi debit air sungai Cimanuk yang cukup tinggi
sehingga menimbulkan permasalahan kekeringan di musim kemarau dan banjir
di musim penghujan. Secara lebih rinci di dalam brosur yang dikeluarkan
Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Balai
Besar Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung, dikemukakan bahwa waduk
Jatigede dibangun dengan latar belakang sebagai berikut:
- Ratio perbandingan antara debit banjir dengan debit kering yang besar dimana fluktuasi debit di Sungai Cimanuk yang tercatat di Bendung Rentang (infrastruktur sumber daya air yang telah ada di Sungai Cimanuk) sangat besar : Qmax = 1.004 m3/det; Qmin = 4 m3/det, Ratio = 251.
- Lahan kritis DAS Cimanuk pada saat ini telah mencapai lebih kurang 110.000 Ha atau sekitar 31% dari luas DAS Cimanuk.
- Potensi air Sungai Cimanuk di Bendung Rentang rata-rata sebesar 4,3 milyar m3/th dan hanya dapat dimanfaatkan 28% saja, sisanya terbuang ke laut karena belum ada waduk.
- Sistem irigasi Rentang seluas 90.000 Ha sepenuhnya mengandalkan pasokan air dari Sungai Cimanuk (river runoff), sehingga pada musim kemarau selalu mengalami defisit air irigasi yang mengakibatkan kekeringan.
- Di wilayah hilir Sungai Cimanuk (Pantura CIAYU) pada musim kemarau telah pula terjadi krisis ketersediaan air baku untuk keperluan domestik, perkotaan dan industri.
Lokasi pembangunan Waduk Jatigede terletak di Kampung Jatigede Kulon,
Desa Cijeungjing, Kecamatan Jatigede Kabupaten Sumedang. Areal yang akan
terkena genangan dan bangunan fasilitas seluas 4.896,22 ha meliputi
lima kecamatan dan 30 desa (sumber lain menyatakan 6 keacamatan dan 16
desa). Areal itu untuk genangan 3.224,78 ha dan untuk fasilitas seluas
1.200,00 ha.
(‘Mega Proyek Pembangunan Waduk Jatigede’ dalam http://sumedang.go.id/files/perda/MEGA%20PROYEK%20JATIGEDE.pdf., diakses 8 Sept. 2008). Keenam kecamatan itu adalah Kecamatan Situraja, Cisitu, Darmaraja, Wado, Jatinunggal, dan Jatigede.
Keberadaan waduk Jatigede secara konseptual bermanfaat bagi masyarakat Sumedang sendiri, bagi kabupaten-kabupaten di sekitar Sumedang (Majalengka, Indramayu dan Cirebon) maupun bagi Pulau Jawa umumnya. Bagi masyarakat dan pemerintah Sumedang, misalnya: retribusi listrik, perikanan air tawar dan pariwisata. Khusus untuk wilayah Pantura Jawa Barat (Kabupaten Majalengka, Indramayu dan Cirebon) adanya waduk Jatigede ini dapat mengatasi kekeringan pada musim kemarau dan mengendalikan banjir pada musim hujan. Waduk Jatigede pun dapat mengkontribusi pembangkit tenaga listrik. Secara kuantitatif, dampak positif dari keberadaan Waduk Jatigede ini adalah sebagai berikut :
- Menyediakan air untuk pengairan sawah seluas 130.000,00 ha.
- Memasok air baku sebesar 2,1 m3/detik untuk keperluan rumah tangga.
- Mengendalikan banjir untuk periode 100 tahun pada wilayah seluas 76.700 ha.
- Meningkatkan hasil panen padi menjadi 1.950.000 ton per tahun dengan mengintensifkan sekitar 109.000 ha. sawah beririgasi yang ada dan 14.000 ha. sawah tadah hujan serta tanaman sayur-sayuran.
- Menghasilkan tenaga listrik sebesar 175 megawatt.
- Khusus bagi masyarakat dan pemerintah Sumedang, akan mendapatkan keuntungan antara lain dari retribusi listrik, perikanan air tawar dan pariwisata.
Zakaria (2008) menyimpulkan bahwa keuntungan yang akan diperoleh dari pembangunan Waduk Jatigede ini adalah :
- Tertanganinya masalah kekeringan dan banjir di wilayah Pantura Jawa Barat.
- Meningkatnya produksi padi sebagai stok pangan, baik regional maupun nasional.
- Bertambahnya pembangkit tenaga listrik khususnya untuk Pulau Jawa.
- Penyediaan air baku baik untuk kepentingan domestik, perkotaan maupun industri khususnya untuk wilayah Pantura Jawa Barat
- Membuka peluang lapanganusaha dan lapangan kerja.
Tidak dapat dipungkiri bahwa di balik manfaat dan keuntungan yang akan
didapatkan dari pembuatan Waduk Jatigede terdapat juga dampak
negatifnya, di antaranya, adalah dampak sosial-ekonomi bagi masyarakat
sekitar proyek pembangunan. Salah satu dampak sosial-ekonomi yang timbul
adalah adanya perubahan dan atau hilangnya mata pencaharian penduduk
sebagai akibat dari berubahnya lingkungan fisik dan fungsi lahan dari
lahan pertanian menjadi area genangan waduk. Dampak sosial sebagai
akibat dari rencana pembangunan Waduk Jatigede, antara lain adalah
sebanyak 5.686 KK harus direlokasi (PPSDAL, 2000). Hal ini memerlukan
penanganan yang sungguh-sungguh dengan perencanaan yang matang dalam
pemindahannya sehingga tidak menimbulkan konflik vertikal maupun
horizontal. Setelah penduduk dipindahkan ke lokasi baru, permaslahan
sosial tidak serta merta dianggap selesai, karena permasalahan sosial
ini tidak dapat dipisahkan dengan permasalahan ekonomi.
Berkenaan dengan upaya mengantisipasi dan mengatasi keterpurukan kondisi
sosial-ekonomi masyarakat terkena dampak, maka perlu dibangun kebijakan
yang berorientasi kepada upaya memaksimalkan kebermanfaatan pembangunan
waduk Jatigede bagi kesejahteraan masyarakat.
Tol Cisumdawu
Saat ini di Sumedang tengah dibangun Jalan Tol Cisundawu, sehingga dengan adanya Tol Cisumdawu bukan sekadar membantu masyarakat yang akan bepergian dari
Bandung ke Cirebon atau sebaliknya, tapi juga sarana menuju Bandara
Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati di Kabupaten Majalengka.
Sumedang bukan lagi menjadi daerah lintasan, tapi sudah menjadi daerah tujuan dari kawasan barat menuju timur, maupun sebaliknya. Regulasi untuk menjadi daerah tujuan sudah ditetapkan.
Untuk menjadikan Sumedang sebagai daerah tujuan maka perekonomian harus ditumbuhkan dan menggenjot sektor pariwisata.
kondisi ke depan juga akan terjadi kejenuhan di Bandung sehingga wisatawan diharapkan memilih alternatif lain. Bandung sudah jenuh dan diharapkan nanti mereka memilih Sumedang karena waktu dan jarak tempuh menjadi lebih pendek dengan adanya jalan tol.
Supaya menjadi daerah tujuan dengan menjadikan daerah wisata dan banyak ekonomi kreatif, maka harus banyak akses masuk dari tol ke Sumedang.
Pintu masuk keluar pertama ada di daerah Citali, Kecamatan Pamulihan. Kemudian di Sumedang kota, Cimalaka, Paseh, dan Ujungjaya.
Banyaknya interchange merupakan jawaban terhadap kekhawatiran para pengusaha jasa dan produk yang memamfaatkan jalan raya Bandung-Sumedang-Cirebon.
Ada interchange di Citali, Sumedang dan Cimalaka yang berdekatan dengan pusat kota, supaya menguntungkan secara ekonomi bagi Sumedang. Satunya lagi berada di Cimalaka yang hanya berjarak tiga kilometer dari pintu masuk di pusat kota.
Pintu masuk dan keluar tol itu dibangun juga di Kecamatan Paseh. Paseh sebagai gerbang masuk ke kawasan wisata alam Gunung Tampomas di Buahdua dan Conggeang.
Begitu juga dengan pintu masuk dan keluar pertama di kawasan Tanjungsari, di Citali dibangun karena kawasan itu dijadikan sebagai pusat perumahan dan permukiman. Selain itu juga tempat tersebut sebagai sentra sayuran dan juga pusat kerajinan (Handy craft)
Untuk menjadikan Sumedang sebagai daerah tujuan maka perekonomian harus ditumbuhkan dan menggenjot sektor pariwisata.
kondisi ke depan juga akan terjadi kejenuhan di Bandung sehingga wisatawan diharapkan memilih alternatif lain. Bandung sudah jenuh dan diharapkan nanti mereka memilih Sumedang karena waktu dan jarak tempuh menjadi lebih pendek dengan adanya jalan tol.
Supaya menjadi daerah tujuan dengan menjadikan daerah wisata dan banyak ekonomi kreatif, maka harus banyak akses masuk dari tol ke Sumedang.
Pintu masuk keluar pertama ada di daerah Citali, Kecamatan Pamulihan. Kemudian di Sumedang kota, Cimalaka, Paseh, dan Ujungjaya.
Banyaknya interchange merupakan jawaban terhadap kekhawatiran para pengusaha jasa dan produk yang memamfaatkan jalan raya Bandung-Sumedang-Cirebon.
Ada interchange di Citali, Sumedang dan Cimalaka yang berdekatan dengan pusat kota, supaya menguntungkan secara ekonomi bagi Sumedang. Satunya lagi berada di Cimalaka yang hanya berjarak tiga kilometer dari pintu masuk di pusat kota.
Pintu masuk dan keluar tol itu dibangun juga di Kecamatan Paseh. Paseh sebagai gerbang masuk ke kawasan wisata alam Gunung Tampomas di Buahdua dan Conggeang.
Begitu juga dengan pintu masuk dan keluar pertama di kawasan Tanjungsari, di Citali dibangun karena kawasan itu dijadikan sebagai pusat perumahan dan permukiman. Selain itu juga tempat tersebut sebagai sentra sayuran dan juga pusat kerajinan (Handy craft)
Post a Comment