Mandala Cupugiri dan Kerajaan Medang Kahyangan Pengiring Medal Kamulyan Zaman Salakanagara Di Sumedang | Bloggerest Sumedang

Header Ads

Mandala Cupugiri dan Kerajaan Medang Kahyangan Pengiring Medal Kamulyan Zaman Salakanagara Di Sumedang

Kabuyutan dan Kemandalaan di Tatar Parahyang
Istilah mandala ditemukan pula dalam teks naskah Kawih Paningkes dan Kisah Bujangga Manik; dua naskah lontar Sunda Kuno yang menyiratkan bahwa mandala adalah lembaga pusat pendidikan di lingkungan pemukiman atau pedukuhan yang diperuntukkan bagi kaum intelektual dan agamawan.

Kata mandala berarti wilayah kekuasaan lembaga keagamaan diserap dari bahasa Sanskerta dan berarti lingkaran suci. Bagi Urang Kanekes adalah melakukan tapa (bekerja, beraktivitas) di mandala. Hal itu karena, dalam sejarah masyarakat Sunda secara keseluruhan, masyarakat Baduy memunyai kedudukan sebagai mandala. Sedangkan, masyarakat Sunda lainnya — di luar mandala — berkedudukan sebagai nagara dan semua warganya mengemban tugas untuk melakukan tapa di nagara. Tugas dan kedudukan masing-masing ini mereka emban secara turun-temurun.

Dalam kerajaan Sunda lama, mandala berarti tempat suci untuk pusat kegiatan keagamaan— tempat para pandhita, cantrik (murid-murid), atau bahkan pengikut mereka hidup untuk membaktikan seluruh hidupnya bagi kepentingan kehidupan beragama. Ini artinya masyarakat hanya boleh tinggal di sana selama mematuhi seluruh aturan  yang ada. Kawasan mandala juga berarti tidak boleh didatangi oleh sembarang orang.

Menurut Undang A Darsa, pada zaman sistem pemerintahan kerajaan, lembaga formal pendidikan atau pabrik orang-orang cerdas itu salah satunya adalah mandala. Dengan kata lain, salah satu pengertian mandala adalah  lembaga formal pendidikan di Sunda pada masa sistem kerajaan. Dalam kronik lontar Sunda Kuno (abad 15 - 16 Masehi) tercatat ada 73 mandala di Tatar Sunda, dari Ujung Kulon sampai batas Timur Kerajaan Sunda, Cipamali.

Keberadaan Mandala ini berlangsung sejak Pra-Hindu (masih menganut ajaran Jati Sunda), hingga masuknya ajaran Hindu yang bersamaan dengan adanya Kerajaan Salakanagara dan Tarumanagara. Tidak hanya itu, Kelangsungannya dan keamanannya dijamin oleh Kerajaan Sunda, Galuh dan Pajajaran.

Kabuyutan di kalangan masyarakat Sunda kuno dapat diartikan sebuah lokasi atau tempat yang disakralkan menurut aturan tradisi, seperti : keraton atau istana raja, kabataraan sebagai lembaga kaum rama, kawikwan sebagai lembaga golongan resi, mandala sebagai lembaga pendidikan, tempat peribadatan dan keagamaan, tempat pemakaman, dan sebagainya.

Mandala-mandala di wilayah Kerajaan Sunda yang tercatat dalam salah satu naskah kuno, yaitu :
  • Mandala Gunung Kidul
  • Mandala Hujung Kulon
  • Mandala Purwalingga
  • Mandala Agrabinta
  • Mandala Purwanagara
  • Mandala Bhumi Sagandu
  • Mandala Sabhara
  • Mandala Nusa Sabay  
  • Mandala Cupunagara 
  • Mandala Paladu
  • Mandala Kosala 
  • Mandala Rajalegon
  • Mandala Indraprahasta 
  • Mandala Manukrawa 
  • Mandala Malabar
  • Mandala Sindangjero 
  • Mandala Purwakreta
  • Mandala Wanagiri
  • Mandala Rajadesa 
  • Mandala Purwagaluh
  • Mandala Cangkuang 
  • Mandala Sagara Kidul 
  • Mandala Kubanggiri 
  • Mandala Cupugiri
  • Mandala Alengka 
  • Mandala Manikprawata 
  • Mandala Salakagading 
  • Mandala Pasirbatang 
  • Mandala Bitunggiri 
  • Mandala Tanjungkalapa 
  • Mandala Sumurwangi 
  • Mandala Kalapagirang 
  • Mandala Kalapalarang 
  • Mandala Tanjung Camara 
  • Mandala Sagarapasir 
  • Mandala Rangkas
  • Mandala Puradalem
  • Mandala Linggadewata 
  • Mandala Wanadatar 
  • Mandala Wanajati 
  • Mandala Jatiageung
  • Mandala Abdiraja
  • Mandala Sundapura
  • Mandala Rajatapura 
  • Mandala Kalapadua
  • Mandala Pasirmuara
  • Mandala Purwagading 
  • Mandala Muarajati 
  • Mandala Pasirsagara
  • Mandala Raksapura
  • Mandala Jasinga
  • Mandala Purnawijaya Pradesa
  • Mandala Sumurwangi 
  • Mandala Tejakalapa
  • Mandala Girilarang 
  • Mandala Mandalaherang
  • Mandala Cupugiri
  • Mandala Kalapajajar
  • Mandala Cibinong
  • Mandala Sundapasir
  • Mandala Sunda Sambawa
  • Mandala Kandangwesi
  • Mandala Pasirluhur
  • Mandala Wahanten Girang 
  • Mandala Parajati 
  • Mandala Singhapura 
  • Mandala Wanakusumah 
  • Mandala Salakadomas
  • Mandala Cirebon Larang 
  • Mandala Purwa Talaga 
  • Mandala Jayagiri 
  • Mandala Sindangkasih 
  • Mandala Purwa Sanggarung 
  • Mandala Jatianom
Sebagian dari Mandala yang ada di tatar Pasundan bermetamorfosis menjadi Kerajaan, sebagian lagi tetap menjadi kawan perdikan dan pusat spiritual.


Pada saat Raja Tarumanagara ke 3 yaitu, Raja Purnawarman (Sri Maharaja Purnawarman Iswaradigwijaya Bhimaparakrama Surya Maha Purusa Jagatpati Purandara Sakti Pura Wiryaajaya Lingga Triwikrama Bhuwanatala / Sri Purnawarman Bhimanarakrama Narendradhipa), lahir 294 Caka, berkuasa (395 - 434 M),  Mandala Raja yang menjadi bawahannya, yaitu :
  • Kerajaan Salakanagara (Pandeglang)
  • Kerajaan Cupunagara (Subang) 
  • Kerajaan Nusa Sabey 
  • Kerajaan Purwanagara
  • Kerajaan Hujungkulon (Pandeglang) 
  • Kerajaan Gunungkidul 
  • Kerajaan Purwalingga (Purbalingga-Jateng) 
  • Kerajaan Agrabinta (Cianjur)
  • Ratu Wilayah Sabara 
  • Ratu Tirthamandhala
  • Kerajaan Bhumi Sagandhu (Majalengka) 
  • Rajadesa Paladu
  • Rajadesa Pinaha 
  • Kerajaan Kosala 
  • Kerajaan Desa Legon (Cilegon) 
  • Kerajaan Indraprahasta (Cirebon) 
  • Ratu Candratudaga, Rajadesa Jagapura 
  • Prajadesa Surantaka Mandhala 
  • Kerajaan Manukrawa (Indramayu)  
  • Kerajaan Malabar (Kabupaten Bandung) 
  • Ratu Sindang Jero 
  • Rajadesa Purwakerta (Purwakarta) 
  • Ratu Wilayah Cangkuang (Garut) 
  • Ratu Wilayah Gunung Cupu  
  • Ratu Wilayah Salaka Gading 
  • Ratu Karaton Sagarakidul 
  • Ratu Panghulu Kubanggiri 
  • Ratu Sapugiri
  • Ratu Alengkha
  • Ratu Manik Parwatadesa 
  • Ratu Wilayah di Pasirbatang 
  • Ratu Wilayah Bibitung Giri Desa 
  • Guru Panghulu Raja Patapan Desa 
  • Ratu Wilayah Tanjungkalapa (Jakarta Utara) 
  • Pakuan (Penguasa) Su­murwangi 
  • Ratu Kalapa Girang Desa (Jakarta Selatan) 
  • Akuwu (kepala daerah) Tanjung Cemara 
  • Ratu Wilayah Sagara Pasir 
  • Ratu Wilayah Rangkas (Lebak Banten) 
  • Rajadesa Puradalem (Karawang) 
  • Ratu Wilayah Linggadewa 
  • Raja Wilayah Wanadatar 
  • Ratu Jatiageung (Kuningan) 
  • Ratu Cupugiri / Gunung Cupu (Sumedang) 
  • Ratu Wilayah Setyaraja 
  • Ratu Wilayah Wanajati Penguasa Rajatapura 
  • Ratu Sundapura  (Bekasi) 
  • Ratu Dwakalapa 
  • Juru Pelabuan Muhara Suba 
  • Juru Pelabuhan Muhara Candrabhaga 
  • Ratu Wilayah Gomati Nadi (Sungai Gomati) 
  • Penguasa di Nusa Apuy (Pulau Api) 
  • Syahbandar Wilayah Narikela (Pandeglang) 
  • Penguasa di Pelabuhan Manukrawa (Indramayu) 
  • Ratu Wilayah Pasir Muhara 
  • Juru Labuhan Muhara Taruma 
  • Kerajaan Purwasanggarung (Kuningan) 
Dan banyak lagi daerah‑daerah dan wilayah‑wilayah yang mengabdi kepada Tarmanagara, tempat dan kerajaan sudah banyak yang berganti namanya, atau sudah tidak ada lagi. Bahkan, ada yang lebih dari sepuluh nama tempat wilayah yang tidak di tulis, karena beberapa aksara tidak tampak, termasuk nama kerajaan, rajanya, dan penguasanya.

Sering didapati pengertian yang saling dipertukarkan atau dianggap sama antara Kamandalaan dan Kerajaan. Akibatnya masyarakat sering salah pengertian. Dalam sejarahnya, beberapa kabuyutan memang berubah menjadi kerajaan, misalnya kabuyutan Galunggung menjadi Kerajaan Galunggung., kabuyutan Kendan menjadi Kerajaan kendan. Namun kabuyutan lain bisa jadi tetap menjadi wilayah perdikan kemandalaan saja tidak berubah menjadi kerajaan.

Adanya salah pengertian di masyarakat adalah disebabkan karena struktur di kemandalaan atau kabuyutan tersebut memiliki kemiripan dengan kerajaan di masa lalu. Misalnya di kabuyutan Kendan memiliki struktur pemimpin tertinggi yang disebut Resiguru, rakyat dan penjaga keamanan yang sering disamakan dengan prajurit kerajaan. Awalnya adanya rakyat dan prajurit pengaman kabuyutan memang disediakan pihak kerajaan. 

Bagi kita orang Sumedang Sudah barang tentu tak asing mendengar Mandala Herang, Kerajaan Medang Kahyangan yang berada di Suku Gunung Gunung Ageung atau Gunung Gede (Gunung Tampomas Sekarang).

Mandala Mandalaherang berada di tutugan (kaki gunung) Tampomas Sumedang. Mandala dan Kabuyutan ini, mungkin cikal bakal Kerajaan Medang Kahyangan seperti tercantum dalam Perjalanan Bujangga Manik.

Setiap Mandala terdapat batu satangtung atau Lingga. Lingga sebagai batu kabuyutan berasal dari kata “La-Hyang-Galuh”. Maksud perlambangan Lingga sesungguhnya lebih ditujukan sebagai pusat / puseur (inti) pemerintahan di setiap wilayah Ibu Pertiwi, tentu saja setiap bangsa memiliki Ibu Pertiwi-nya masing-masing (Yoni).

Dari tempat Lingga (wilayah Rama) inilah lahirnya kebijakan dan kebajikan yang kelak akan dijalankan oleh para pemimpin negara (Ratu). Hal ini sangat berkaitan erat dengan ketata-negaraan bangsa Galuh dalam ajaran Sunda, dimana Matahari menjadi pusat (saka) peredaran benda-benda langit. Fakta yang dapat kita temui pada setiap negara (kerajaan) di dunia adalah adanya kesamaan pola ketatanegaraan yang terdiri dari Rama (Manusia Agung), Ratu (Maharaja) dan Rasi atau Resi (Raja-raja kecil / karesian) dan konsep ini kelak disebut sebagai Tri Tangtu atau TriSuLa NagaRa.

Umumnya sebuah Lingga diletakan dalam formasi tertentu yang menunjukan ke-Mandala-an, yaitu tempat sakral yang harus dihormati dan dijaga kesuciannya. Mandala lebih dikenal oleh masyarakat dunia dengan sebutan dolmen yang tersebar hampir di seluruh penjuru dunia, di Perancis disebut sebagai Mandale sedangkan batunya (lingga) disebut Obelisk ataupun Menhir.

Mandala (tempat "Suci") secara prinsip terdiri dari 5 lingkaran berlapis yang menunjukan batas kewilayahan atau tingkatan (secara simbolik) yaitu;
1. Mandala Kasungka
2. Mandala Seba
3. Mandala Raja
4. Mandala Wangi
5. Mandala Hyang (Inti lingkaran berupa ‘titik’ Batu Satangtung)
Ke-Mandala-an merupakan rangkaian konsep menuju kosmos yang berasal dari pembangunan kemanunggalan diri terhadap negeri, kemanunggalan negeri terhadap bumi, dan kemanunggalan bumi terhadap langit “suwung” (ketiadaan). Dalam bahasa populer sering disebut sebagai perjalanan dari “mikro kosmos menuju makro kosmos” (keberadaan yang pernah ada dan selalu ada)

Mandala Gunung Cupu 
Dalam versi Sejarah daerah di wilayah Sumedang yaitu Mandala Cupugiri atau Gunung Cupu di Sumedang termasuk diantara wilayah Mandala Raja bawahan Raja Tarumanagara ke 3 yaitu, Raja Purnawarman (Sri Maharaja Purnawarman Iswaradigwijaya Bhimaparakrama Surya Maha Purusa Jagatpati Purandara Sakti Pura Wiryaajaya Lingga Triwikrama Bhuwanatala / Sri Purnawarman Bhimanarakrama Narendradhipa), lahir 294 Caka, usia 23 – 62 th Caka, (395 - 434 M).

Mandala Cupugiri dan Gunung Cupu di Sumedang, Jawa Barat. Ke-mandala-an adalah kata benda untuk Mandala yang berarti tempat suci sekaligus kawasan perdikan yang memiliki kewenangan khusus di bidang keagamaan. Sebagian masyarakat di tatar Sunda menyamakan Mandala dengan Kabuyutan.

Mandala adalah tempat suci dan tempat mempelajari ilmu keagamaan dalam ajaran Jati Sunda dan dipimpin oleh seorang Rsi Guru. Di dalamnya terdapat aktivitas lain selain keagamaan, misalnya pertanian dan perniagaan juga dijaga keamanannya dengan prajurit pengamanan Mandala.

Ketika Dharma Satyajaya Warunadewa memerintah di Kerajaan Salakanagara sebagai raja kelima, putra-putranya yang sebanyak tujuh orang meninggalkan istana menuju ke arah timur dan memilih berdiam di daerah pedalaman (pegunungan), dan kemudian hidup sebagai seorang pertapa (Resi), yang sekarang berada di wilayah Kabupaten Sumedang.

Ketujuh putra Dharma Satyajaya Warunadewa tersebut adalah :
  1. Jaya Sampurna, di Daerah Gunung Susuru, Kampung Genteng Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Sumedang Selatan)
  2. Indrasari (Dalem Tumenggung) di Gunung Susuru, Kampung Genteng Kelurahan Pasanggrahan Kecamatan Sumedang Selatan
  3. Sukmana (Eyang Resi Cupu) di Gunung Cupu, Pasarean Kelurahan Kotakulon Kecamatan Sumedang Selatan.
  4. Prabu Daniswara (Sumadira) di kaki Gunung Tampomas, Blok Ciemutan Dusun Cilumping Desa Cikurubuk Kecamatan Buahdua.
  5. Jaya Bhuana Ningrat (Banas Banten) di Kampung Banas Cibanten Desa Babakan Asem Kecamatan Conggeang
  6. Lara Sakhti  (Eyang Haji) di Gunung Susuru Dusun Sahang Desa Dayeuh Luhur Kecamatan Ganeas.
  7. Sanyak (Sari Hatimah) atau Dalem Tumenggung Surabima di Cieunteung Desa Cipamekar Kecamatan Conggeang.
Di Gunung Cupu Sumedang terdapat keramat Kabuyutan Gunung Cupu, mandala ini dipimpin Guruloka atau Guru Rsi Sukmana (Eyang Rsi Cupu).

Lokasi Makam Eyang Cupu berdekatan dengan makam Nyimas Pasarean putrinya Munding Sari Saringsingan (Sunan Saringsingan) dari Talaga Manggung, Nyimas Pasarean adalah Istri ke 3 Prabu Geusan Ulun Raja Sumedanglarang terakhir sekaligus pemegang tahta Raja Pajajaran Pamungkas yang berkuasa pada tahun 1579 - 1601 M.


Asal Usul Kerajaan Medang Kahyangan
Pada sebagian tradisi kebudayaan di Nusantara, gunung sering-sering dipandang memiliki pengertian simbolis sebagai poros penghubung antara makrokosmos dengan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Dalam pandangan demikian kehidupan kemanusiaan ini senantiasa berada di bawah pengaruh kekuatan-kekuatan yang bersumber pada penjuru arah mata angin, pada rasi-rasi bintang, planit-planit, dan benda-benda angkasa lainnya.

Oleh karena itu, masyarakat tradisional selalu berupaya menyelaraskan kehidupan dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang diperoleh secara astrologis. Bukti-bukti seperti ini sering dijumpai dalam prasasti-prasasti (inskripsi) dan episode-episode naskah-naskah kuno, dalam gelar-gelar yang dilekatkan pada seseorang raja, dalam upacara-upacara tradisional, dalam karya-karya seni, seperti dalam ukiran atau pahatan ornamen-ornamen, dan bentuk-bentuk fisik suatu bangunan tertentu.

Menurut cita rasa pikiran dalam kepercayaan masyarakat pada masa lalu, pada sebuah wilayah kekuasaan biasanya mesti mempunyai sebuah gunung tertentu sebagai pusat magisnya, selain menjadi pusat tapal batas geogafis dari negeri yang bersangkutan. Sebagai poros (axis mundi) penghubung antara jagat raya dan dunia manusia. Dari sudut pandang lain, sebuah gunung maupun perbukitan sering-sering dijadikan suatu model konstelasi bangunan pusat aktivitas pemerintahan serta keagamaan bagi kalangan masyarakat.

Pada awal abad ke  3-4 M,  wilayah Sumedang dahulu masih hutan belantara. Para putra Raja Salakanagara ini mendirikan sebuah negeri yang bernama Medang Kahyangan, dimana Puncak Manik Gunung Gede (Tampomas) dijadikan sebagai tanda atau simbol atau pusat spiritual Baktha Hinduisme.



Di kawasan gunung ini Sumaradira berdiam dan menjadi seorang raja yang dikenal dengan nama Prabu Daniswara dan kemudian menjadi Resi.

Agama yang dianut pada waktu itu adalah Hindhu syiwaisme, hal ini dapat dilihat dengan adanya ornamen tengkorak pada Situs Batu Sandung di Puncak Manik Gunung Tampomas, meskipun sayang kini telah rusak oleh tangan-tangan jahil dan beberapa patung archa pun raib entah kemana.

Peninggalan kerajaan ini tersebar disekitar Gunung Tampomas, yakni berupa makam-makam kuno, Punden, Lingga, dan Arca. Sejumlah Benda Purbakala, mulai dari area puncak manik hingga kaki belahan timur Gunung Tampomas. Lokasi bersejarah tersebut yaitu, Blok Ciputrawangi, Leuweung Candi, Puncak Narimbang, Batulawang, Kabuyutan Sawah Kalapa, Kabuyutan Ciburuan, Puncak Manik, dan Cibanteng. Kerajaan Kuno Medang Kahyangan harus kembali diteliti lebih mendalam, mengingat banyaknya peninggalan kepurbakalaan yang berkaitan erat dengan kerajaan ini.


Selanjutnya, saudara-saudaranya juga menyebar dari Gunung Tampomas. Jaya Sampurna dan Indrasari mengambil tempat tinggal ke arah selatan, berkuasa di daerah Gunung Susuru. Sukmana berdiam di Gunung Cupu. Sari Hatimah ke arah Timur, berkuasa di daerah Cieunteung dan Lara Sakhti di Cisusuru (Gunung Cisusuru Dayeuh Luhur Ganeas). 

Dan yang ke arah utara adalah Jaya Bhuana Ningrat yang berkuasa di daerah Banas Banten. Tujuh putra Raja Salakanagara tersebut kesemuanya (berdiri sendiri) di tujuh tempat, tetapi saling berkaitan sebagai simbol ilmu pengetahuan, di antaranya adalah simbol 7 hari dalam seminggu sesuai dengan pepatah Sunda  "kadulur nu tujuh, ka saderek nu opat, ka lima pancer"

Negeri ini lebih dahulu lahir sebelum berdirinya Kerajaan Tarumanagara oleh Singawarwan di tahun 355 M. Simbol pengakuan berdirinya Kerajaan Tarumanagara adalah Penamaan Gunung Datar (Datar = Dangiang Tarumanagara), berada di wilayah Kecamatan Sumedang Utara. 

Di kawasan ini terdapat situs yang menghadap ke Gunung Tampomas, dan sebagai bentuk peringatan yang dilanjutkan oleh keturunan Sunda - Tarumanagara dan Medang (Galuh) - Kerajaan Kendan keturunan Wretikandayun Raja Medangjati di abad ke-6 M, dengan lahirnya Mandala Medang Kamulyan oleh Ratu Arma Arta Arma Arsuta alias Ratu Komara alias Dewi Komalasari putra Prabu Purbasora dan Aria Bimaraksa di Cipancar yang kemudian menjadi Kerajaan Tembong Agung (678 - 721 M) oleh putra Prabu Guru Aji Putih di Darmaraja Sumedang.


Kerajaan Medang Kahiyangan
Kerajaan Medang Kahiangan adalah Pengiring Medal Kamulyaan Zaman Kerajaan Salakanagara adalah salah satu kerajaan kuno yang ada di Tatar Sunda. 

Didirikan sekitar tahun 174 saka atau sekitar tahun 252 M di kaki Gunung Tampoomas (Tampomas) yakni terletak diantara Kecamatan Congeang dan Kecamatan Buah Dua, Sumedang. Kerajaan tersebut didirikan oleh seorang Praburesi keturunan Raja Salakanagara ke 5, yaitu Prabu Dharma Satya Jaya Waruna Dewa (252 - 290 M) dan 

Dalam Carita Parahiyangan dan catatan Bujangga Manik bahwa sekitar kaki Gunung Tompo Omas (Tampomas) terdapat sebuah Kerajaan bernama Medang Kahiyangan (252 - 290 M), dan menurut catatan Bujangga Manik juga bahwa posisi Sumedang Larang berada di Cipameungpeuk, dan pindah ke Ciguling Kecamatan Sumedang Selatan. Dilihat dari Raja Sumedang Larang (998 – 1114 M) bahwa pemegang kekuasaan Kerajaan waktu itu adalah Prabu Pagulingan.

Sumber Bacaan :
1. Sennet, Frank. 2004. Guru Teladan Tahun Ini. Jakarta: Erlangga
2. Widya, dharma K. 2009. Sigalovada Sutta.  Jakarta: pengurus pusat wanita Theravada Indonesia.
3. Darsa, Dr. Drs. Undang Ahmad M.Hum., “Local Wisdom Tidak Begitu Bermanfaat Tanpa Local Genius” - Universitas Padjadjaran". Universitas Padjadjaran. Diakses tanggal 2018-03-21.
4. Danasasmita, Saleh  & Anis Djatisunda, 1986. "Kehidupan  Masyarakat Kanekes". Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda Depdikbud.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.