Mandala Sindangkasih, Resi Guru Wangsa Ungkara Dan Kerajaan Sindangkasih
Mandala Sindangkasih
Keraton-keraton di masa lain, selain merupakan pusat pemerintahan juga menjadi pusat pengendalian usaha-usaha intensifikasi tatanan dunia yang dianut di kerajaannya masing-masing. Sayangnya, peninggalan dari tatanan dunia itu yang kita warisi tidak lengkap. Demikian pula dengan Kerajaan Sindangkasih Majalengka.
Keraton-keraton di masa lain, selain merupakan pusat pemerintahan juga menjadi pusat pengendalian usaha-usaha intensifikasi tatanan dunia yang dianut di kerajaannya masing-masing. Sayangnya, peninggalan dari tatanan dunia itu yang kita warisi tidak lengkap. Demikian pula dengan Kerajaan Sindangkasih Majalengka.
Sebelumnya, saya (penulis) AH Purnama Alam Wangsa Ungkara tidak terlalu tertarik menuliskan sejarah Kerajaan Sindangkasih yang dianggap keberadaanya hanya sekedar mitos belaka. Beberapa pihak menilai bahkan berani mengatakan bahwa kerajaan Sindangkasih Majalengka itu tidak ada. Jadi, sebenarnya seperti apa? dan bagaimana?
Kerajaan Sindangkasih adalah ke-Rajamandala-an Sindangkasih
Pengertian "Mandala" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah n kl 1 wilayah kekuasaan lembaga keagamaan; 2 bulatan; lingkungan (daerah). Semantara Mandala juga dapat dipandang secara politik. Mandala (मण्डल) adalah istilah bahasa Sanskerta yang bermakna "lingkaran". Mandala digunakan sebagai model untuk menggambarkan pola penyebaran pengaruh kekuasaan politik dalam sejarah purba Asia Tenggara ketika kekuasaan setempat memegang peranan penting. Konsep sejarah-politik mandala ini berkaitan dengan kecenderungan modern untuk memandang persatuan kekuasaan politik, misalnya kekuasaan kemaharajaan atau negara-bangsa besar di kemudian hari. Hal ini merupakan hasil dari kemajuan teknologi pembuatan peta pada abad XV. Sejarawan asal Inggris O. W. Wolters meyebutkan gagasan ini pada 1982:
"Peta sejarah purba Asia Tenggara berevolusi dari jejaring permukiman prasejarah yang muncul dalam catatan sejarah sebagai serpihan-serpihan yang membentuk mandala yang kadang saling tumpang tindih."
Istilah mandala digunakan untuk menjelaskan sejarah awal pembentukan politik Asia Tenggara, seperti federasi atau persekutuan beberapa kerajaan yang dipersatukan oleh kerajaan induk, atau kumpulan kerajaan-kerajaan bawahan (vasal) yang tunduk pada satu pusat kekuasaan. Istilah ini digunakan pada abad ke-20 oleh sejarahwan Barat dalam diskursus pranata politik India kuno, untuk menghindari penggunaan istilah "negara" dalam arti konvensional. Pranata atau kesatuan politik Asia Tenggara purba berbeda dengan kesatuan politik dalam pengertian China dan Eropa, dimana kawasan negara ditentukan oleh garis perbatasan yang jelas dan aparat birokrat, akan tetapi menyebar dengan arah kebalikannya: kesatuan politik ditentukan oleh pusat atau inti kekuasaannya daripada perbatasannya, dan dapat tersusun atas beberapa unit politik bawahan tanpa integrasi administratif lebih lanjut.
Dalam beberapa hal, sistem mandala ini mirip dengan sistem feodal di Eropa, negara-negara bagian atau negeri bawahan terikat oleh tuannya melalui hubungan tribut yaitu memberikan persembahan berupa upeti. Dibandingkan dengan sistem feodal, sistem mandala ini memberikan lebih banyak kebebasan kepada negeri bawahannya; hubungannya lebih bersifat hubungan pribadi antar penguasanya; dan seringkali bersifat tidak eksklusif. Suatu daerah tertentu dapat menjadi bawahan beberapa sistem mandala tertentu, atau bahkan tidak samasekali.
Kemandalaan
Mengutip pendapat Undang A Darsa, bahwa di Tatar Sunda terdapat 73 Mandala atau Kamandalaan. Mandala adalah kawasan perdikan (pusat pendidikan agama) di tatas Sunda. Salah satu diantaranya adalah Mandala Sindangkasih Majalengka. Mandala ini termasuk dalam daftar Kabuyutan atau Kemandalaan di Tatar Pasundan.
Para pemimpin Mandala atau dalam pandangan masyarakat umum sering disamakan dengan "Kabuyutan" adalah Guru Resi, Resi Guru atau Guruloka (dalam Kitab Siksa Kanda Ng Karesian). Bedanya, Mandala atau Kemandalaan adalah Lemah Dewasasana yang merupakan tempat suci yang di dalam ajarannya terpengaruh Hindu-Buddha (Siwa-Buddha) sedangkan Kabuyutan termasuk Lemah Parahyangan, yaitu tempat suci ajaran Jati Sunda atau Sunda Wiwitan. Di tatar Pasundan terdapat 800 kabuyutan, dan 73 Mandala yang ada sering disamakan sebagai kabuyutan. Memang bisa dikatakan bahwa semua Mandala adalah kabuyutan, sedangkan tidak semua kabuyutan adalah kemandalaan.
Lemah Diwasasana adalah Mandala sebagai tempat pemujaan kepada para Dewa, sedangkan Lemah Parahyangan adalah Mandala sebagai tempat pemujaan Hyang (Danasasmita & Anis Djatisunda, 1986:3 dalam Luthfiyani, 2017).
Wilayah Kamandalaan secara fisik berwujud adanya tempat suci khusus tempat pemujaan, misalnya berupa punden berundak Selain itu juga terdapat wilayah "paguron" yaitu tempat para murid atau Sastri (siswa Buddha) mengkaji (dari sini muncul istilah mengaji) ilmu agama dengan adanya bangunan-bangunan. Wilayah perdikan Mandala juga dilengkapi dengan pusat tata niaga, pertanian dan sebagainya untuk keperluan para sastri. Lingkungan paguron ini disebut pesastrian atau pesantren (yang kemudian hari bermetamorfosis menjadi pesantren dalam ajaran Islam).
Yang paling menarik, Mandala-mandala ini mendapatkan perlindungan dari kerajaan Sunda-Galuh juga pada masa Pajajaran. Pihak kerajaan menempatkan tentaranya untuk menjaga keamanan Mandala. Pun demikian dengan Mandala Sindangkasih.
Pandangan masyarakat umum dikemudian hari yang menganggap bahwa Mandala adalah kerajaan wajar terjadi. Karena adanya keteraturan sistem pengelolaan yang mirip pemerintahan kerajaan juga ditambah adanya prajurit keamanan semakin menguatkan Mandala adalah kerajaan. Ditambah lagi, dalam tata kelola kerajaan pusat menyebut para pemimpin Mandala sebagai "Rajamandala".
Beberapa Mandala di tatar Sunda ada yang bermetamorfosis (berubah bentuk) menjadi kerajaan. Misalnya Mandala Sunda Sambawa. Ajaran Tri Tangtu Sunda diajarkan di Kamandalan Sunda Sembawa. Tri Tangtu (Rama, Resi, Ratu) merupakan tiga kekuataan Purbatisti Purbajati i Bhumi Pertiwi yang menghasilkan Uga (perilaku) Ungkara (nasehat) Tangara (tanda alam), sebagai sistem polaperilaku dalam berbangsa dan bernegara yang telah dipergunakan oleh para Pangagung mwah Pangluhung i Sunda Sembawa Sunda Mandala.
Panyca Pasagi (Sir Budi Cipta Rasa Adeg) adalah lima kekuatan dalam diri manusia (Raga Sukma Lelembutan) yang merupakan dasar kekuatan untuk menimbulkan serta menentukan Tekad Ucap Lampah Paripolah Diri manusia yang akan dan harus berinteraksi dengan Sang Pencipta, Bangsa dan Negara, Ibu Bapak Leluhur, Sesama makluk hidup, dan alam kehidupan jagar raya (Buana Pancer Sabuder Awun).
Lokasi Mandala Sindangkasih (maksudnya kota atau kecamatan Majalengka), bukan Kabupaten Majalengka. Alasannya Mandala Sindangkasih di sebelah Tenggara dibatasi Mandala Bitunggiri yang kelak berubah menjadi Kerajaan Talaga Manggung. dan di Timur Laut berbatasan dengan Kerajaan Rajagaluh. Sibagian Selatan dan Barat Mandala Sindangkasih berbatasan dengan Cilutung dan Mandala Tembong Agung (Kerajaan Tembong Agung lalu berubah menjadi Mandala Himbar Buana). Di bagian Utara Mandala Sindangkasih dibatasi Mandala Wanagiri (Palimanan) yang juga bermetamorfosis menjadi Kerajaan Wanagiri dan Singhapura (Sing Apura) Cirebon.
Bila beberapa Mandala di sekitar Sindangkasih berubah menjadi Kerajaan, maka Sindangkasih tetap menjadi Mandala Sindangkasih dengan sebutan Raja-Mandala, buka kerajaan kedatuan. Ada banyak Mandala dan Kabuyutan yang tetap menjadi pusat keagaamaan. Tidak tercatat dalam sejarah bahwa 800 Kabuyutan (73 diantaranya adalah ke-Manndala-an) berubah menjadi 800 Kerajaan di Tatar Sunda. Bahkan terulis dalam Naskah kuno ada beberapa kerajaan yang di dalamnya terdapat dua atau lebih ke-Mandala-an.
Guru Resi Wangsa Ungkara
Seperti disinggung di atas, penulis adalah keturunan Wangsa Ungkara. Siapakah dia? Ia adalah Guru Resi di Mandala Sindangkasih Majalengka.Keberadaanya sedang diteliti oleh "Komara Sunda" - Komunitas Masyarakat Arkeologi Sunda, Bandung sejak tahun 2014.
Saya (Penulis ) AH Purnama Alam bin Zaenal Arifin bin Kyai Hasim bin Kyai Abhari dan seterusnya ke atas. Sebagai catatan, Kyai Abhari adalah Uyut Penulis yang berjuang mendapingi KH Abdul Halim sebagai pengajar Agama di lembaga pendidikan Darul Ulum Persatuan Umat Islam (PUI) Majalengka. Nama keluarga Wangsa Ungkara tidak dipergunakan lagi. Alasannya sebagai penegas dan pembeda antara Islam abangan dan Islam putih. Islam abangan biasanya masih berpengaruh di kalangan pelaksana pemerintahan sebagai kelanjutan kerajaan-kerajaan di masa itu. Akhirnya, keberadaan Wangsa Ungkara "hilang ditelan bumi".
Keluarga Kami tidak menyarankan penggunaan Wangsa Ungkara dalam nama keluarga. Alasannya sesuai pepatah Sunda "ulah Agul ku Payung Butut". Zaman telah berganti, penulisan silislah dan ditunjukan kepada orang lain dianggap tidak sesuai zaman. Menurut Ekadjati (1988: 9), naskah yang berisi silsilah, sejarah leluhur, dan sejarah daerah pada masanya merupakan pegangan kaum bangsawan. Selain itu, naskah tersebut juga menjadi alat legitimasi bagi raja yang berkuasa. Pada masa lalu raja-raja di tanah Jawa dikenal gemar sekali memamerkan silsilah atau asal-usul garis keturunannya sebagai alat legitimasi untuk melanggengkan kekuasa-annya. Namun, kini fungsi tersebut mengalami proses pelunturan, bahkan tidak berfungsi lagi.
Sejarah asal usul Guru Resi Wangsa Ungkara dari Kerajaan Galuh. Seperti halnya Kerajaan Talaga Manggung (berawal dari Mandala Bitunggiri) dan Mandala Purwa Talaga), Kerajaan Indraprahasta (Mandala Indraprahasta) dan Kerajaan Saunggalah (Mandala Saunggalah - Kuningan). Berawa adanya perbutan kekuasaan antara Sanjaya dan Purbasora, cucu Wretikandayun.
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah dari tahun 717(?) – 746 Masehi. Namanya dikenal melalui prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih, serta naskah Carita Parahyangan. Sanjaya adalah pendiri Wangsa Sanjaya. Ia anak Bratasenawa atau Sang Sena putera Sang Wretikandayun penguasa Kerajaan Galuh.
Sekilas mengular Raja Kerajaan Galuh Sang Wretikandayun. Sang Wretikandayun adalah Raja pertama di Kerajaan Galuh yang memerintah di Kerajaan Galuh dengan gelar Maharaja Suradarma Jayaprakosa dari tahun 612 Masehi sampai 702 Masehi sebagai kelanjutan dari Kerajaan Kendan masih bawahan kerajaan Tarumanagara. Sang Wretikandayun berkuasa di Kerajaan Galuh pada tahun 534-592 Saka (612/3-670/1 Masehi), lamanya 58 tahun, sebagai ratu wilayah di bawah kerajaan Tarumanagara. Pada tahun 592-624 Saka (670/1-702/3 Masehi), selama 32 tahun sebagai raja Kerajaan Galuh merdeka. Dalam Carita Parahiyangan ditegaskan Kerajaan Galuh didirikan oleh Sang Wretikandayun, baginda berkuasa 90 tahun.
Purbasora menyusun pasukan dengan merekrut rakyat limbangan dan sumedang larang bergabung dengan pasukan Purbasora lalu menyerbu istana Galuh, sehingga terjadi perang saudara dan Purbasora berhasil merebut istana Galuh, namun Bratasenawa berhasil meloloskan diri ke gunung Merapu sehingga selamat dari gempuran Pasukan Purbasora. Diawal kekuasaanya Purbasora mengikis habis pengikut Bratasenawa, Sementara Bratasenawa mendapa bantuan politik dari penguasa Kerajaan Kalingga utara.
Bratasenawa (Sang Sena) menjadi Pemangku kerajaan Kalingga utara kemudian menikah dengan Sanaha melahirkan Raden Sanjaya. Kehadiran Sanjaya di Kalingga utara membuat kekhawatiran Prabu Purbasora bahwa Sanjaya akan membalas dendam kekalahan ayahnya Bratasenawa. Dugaan tersebut menjadi kenyataan Istana Galuh diserang oleh pasukan Sondjaya didalam pertempuran Prabu Purbasora diusia tuanya gugur ditangan Sanjaya.
Para pembesar Kerajaan Galuh termasuk para resi menyingkir atau mengungsi. Banyak yang menyingkir akibat terbununhya Purbasora oleh Sanjaya yang menganut Bhairawa. Pelarian ini terjadi karena Sanjaya yang memeluk agama Syiwa Bhairawa cenderung agresif dan berusaha menaklukan raja-raja. Sementara para raja Kerajaan Galuh menganut Hindu Waisnawa (menyembah Wisnu) dan adanya sinkretisme Hindu Buddha. Sanjaya di Jawa Barat juga dikenal dengan sebutan Prabu Harisdarma. Ia meninggal dunia karena jatuh sakit akibat terlalu patuh dalam menjalankan perintah guru agamanya. Dikisahkan pula bahwa putranya yang bernama Rahyang Panaraban dimintanya untuk pindah ke agama lain, karena agama Sanjaya dinilai terlalu menakutkan.
Diantara para pengungsi tersebut adalah Guru Resi Wangsa Ungkara. Pelariannya hingga tiba di Gunung Balay Pancurendang Tonggoh, (kini masuk kelurahan Babakan Jawa Majalengka Wetan, Kecamatan Majalengka). Posisinya aman dari jangkauan prajurit Galuh. Gunung Balay berada di Utara Sungai Cilutung dan di Selatan sungai Cijurey. Menurut cerita tutur tinular, turun temurun bahwa di Gunung Balay terdapat peilasan Prabu Adji Putih, pendiri kerajaan Tembong Agung sebagai cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang.
Ada hal yang menarik dalam sejarah Kerajaan Sumedang Larang bahwa Patih Bimaraksa beserta keluarganya berhasil meloloskan diri kedalam hutan belantara dan pasukan Sondjaya kehilangan jejak Patih Bimaraksa.
Patih Bimaraksa beserta keluarganya melakukan perjalanan yang sangat jauh ke arah utara melintasi hutan lebat dan melintasi Gunung Penuh, Gunung Mandalasakti, Gunung Gunung Nurmala (Sangkanjaya sekarang) dan berakhir di kampung Muhara Leuwi Hideung Darmaraja.
Disanalah Bimaraksa mendirikan "Padepokan Tembong Agung" sekaligus mendidik putranya Adji putih yang dipersiapkan sebagai Pemimpin yang tangguh.
Padepokan Tembong Agung Mendorong perkembangan keagamaan dan kebudayaan secara perlahan-lahan Padepokan Tembong Agung menjadi Pusat penyebaraan Keagamaan dan kebudayaan Sunda. Setelah Penobatan putranya, Bimaraksa yang telah menjadi seorang Resi Bimaraksa pergi kedaerah utara ditepian sungai Cimanuk. Disana mendirikan "Padepokan Bagala Asih Panyipuhan" (Bagala atau Bagara = Tempat, Asih = Kasih sayang) yang bermakna tempat untuk menjalin kasih sayang antara sesama insan (tempat bersilaturahmi antara sang pencipta dan sesama insan) Panyipuhan = Membersihkan/penyucian jasmani dan rohani. Kemudian "Padepokan Bagala Asih Panyipuhan" menjadi tempat bekumpulnya/tempat konsultasinya para Resi ditatar Sunda. Apakah Guru Resi Bimaraksa adalah Guru Resi Wangsa Ungkara?
Sebagaimana konsep Tri Tangtu Sunda (Rama, Resi, Ratu) yang merupakan tiga kekuataan Purbatisti Purbajati i Bhumi Pertiwi yang menghasilkan Uga (perilaku) Ungkara (nasehat) Tangara (tanda alam). Guru Resi Wangsa Ungkara dipastikan bukan nama sebenarnya. Ungkara adalah Nasehat. Bisa diartikan Wangsa Ungkara adalah seorang pemberi nasehat, yaitu para pendeta agama Hindu-Buddha. Sementara itu, keturunan-keturunan Guru Resi Wangsa Ungkara kelak menjadi para Kyai yang menyebarkan agama Islam di Sindangkasih (Majalengka). Oleh karena nama Wangsa Ungkara tidak digunakan lagi sejak Kyai Abhari dalam perjuangannya bersama KH Abdul Halim. Kyai Abhari berputera 8 orang. Diantaranya ada Kyai Haji Adnan, Kyai Hasyim dan Muchsin. Kyai Haji Adnan, serta para puteranya menjabat di Kantor Urusan Agama (KUA) Majalengka dan MUI Majalengka.
Siapa Wangsa Ungkara? meskipun dari penjelasan keluarga dan leluhur bahwa bergelar Raden, Rahadyan atau Rakyan, tetapi menurut penulis Wangsa Ungkara bukan dari kalangan Tohaan (Raja), khususnya nama Wangsa tersebut, tetapi dari Kasta Brahmana atau Resi Guru. Wangsa Ungkara atau Wangsa Ongkara atau Wangsa Hungkara atau Wangsa Hongkara. Hongkara ini didapati sebagai Shiwa dalam kitab Weda Hindu. Disebutkan Hongkara Wangsa. Oleh karena itu penulis mengerti jika keluarga tidak ingin mencantumkan wangsa ungkara dibelakang nama keluarga kami yang dikenal keluarga Kyai.
Keturunan wangsa Ungkara semenjak Guru Resi Wang Ungkara tetap menjadi Para Ungkara atau pemberi nasihat keagamaan. Yang membedakannya adalah agamanya. Putra-putri Kyai Abhari (pengajar PUI masa kepemimpinan KH Abdul Halim), seperti Kyai Muchsin memperdalam Ilmu agama Islam di Pesantren-pesantren di Cirebon, diantaranya pesantren Ciwaringin.
Bila mengacu ke kerajaan Talaga Manggung, agama yang dianut di Talaga adalah Budha Sarwastiwadha. Sepertinya posisi geografis dari Pegunungan Madati yang sejak megalitikum dijadikan pusat religi, menjadi acuan bagi Sang Sudayosa (Batara Gunung Bitung) untuk mendirikan Padepokan Agama Budha Sarwastiwada di Gunung Bitung, dikenal dalam Naskah kuno Sunda sebagai Mandala Bitunggiri.
Aliran ini diperkatakan mula muncul di rantau Awanti di India. Pengagasnya, seorang bhikkhu bernama Puranna, yang dihormati dalam Mahisasaka Winaya. Penghormatan kepada beliau terdapat dalam sastera ajaran Buddha dalam bahasa Cina. Baca Aliran ajaran Buddha Mahisasaka.
Dalam kurun ke-7 M, bhikkhu I Tsing menggolongkan aliran ini bersama dengan Dharmmaguptaka dan Kasyapiya sebagai cawangan ranting kepada Sarwastiwada dan menyatakan bahwa ketiga aliran ini tak terkenal di lima bagian India tapi tersebar di Oddiyana, Khotan dan Kucha, China. Ciri khas aliran ini, bikkhu menggunakan pakaian berwarna biru. Jadi besar kemungkinan Talaga manggung telah kontak dengan bikkhu dari Tibet atau China sebagaimana beberapa artefak yang tersimpan di Museum Talaga Manggung menunjukkan bukti itu.
Dalam sejarahnya Mandala Sindangkasih, tidak tercatat bermetamorfosis menjadi kerajaan. Catatan Sindangkasih ketika pemerintahan Wedana Dipati Ukur hanya sebagai Umbul Sindangkasih dan merupakan wilayah yang diklaim bagian dari Kesultanan Mataram. Ketika penyerahan Sindangkasih oleh Kerajaan Sumedang Larang pada tahun 1585 ke Kesultanan Cirebon hanya disebut sebagai Sindangkasih saja. Hanya dalam Naskah Sunda Kuno disebut sebagai Mandala Sindangkasih. Hingga perubahan nama menjadi Majalengka di zaman Kolonialisme Belanda, Sindangkasih hanya disebut sebagai wilayah saja bukan kerajaan.
Nyi Rambut Kasih
Selama ini, kesejarahan Kerajaan Sindangkasih dengan "ratu" Nyi rambut kasih sering dikait-kaitkan dengan proses penyebaran Islam dari Cirebon ke Kerajaan Sindang Kasih yang kelak menjadi Majalengka. Majalengka yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Kota kecamatan Majalengka, yaitu kota Sindangkasih dahulu, bukan sebagai Kabupaten. Mengingat di Majalengka terdapat kerajaan Talaga Manggung di Kecamatan talaga sekarang, lalu ada Kerajaan Rajagaluh di kecamatan Rajagaluh dan disebut-sebut juga adanya Kerajaan Jatiraga.
Nama Nyai Rambut Kasih bagi warga Kabupaten Majalengka kerap dikaitkan dengan sejarah berdirinya daerah tersebut. Ratu Ayu Panvidagan, begitulah nama asli Nyai Rambut Kasih. Dia adalah seorang ratu Majalengka yang cantik rupawan. Sang Ratu pun dan kerap mengurai rambut panjangnya dalam kesehariannya.
Bahkan berdasarkan cerita, kecantikan sang ratu tak ada bandingannya pada zamannya. Tak hanya cantik, dia pun memiliki kesaktiaan yang luar biasa, sehingga tak seorang pun sanggup menatap kemolekan wajah Nyai Rambut Kasih. Kerajaan yang menjadi pemerintahannya saat itu bernama Sindang Kasih. Konon Kerajaan Sindang Kasih terkenal dengan buah yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Nama buah itu bernama buah Maja.
Nyai Rambut Kasih juga dikenal sebagai sosok ratu yang memerintah negerinya dengan penuh cinta, aman, damai, dan mensejahterakan kehidupan rakyatnya dengan ketulusan tanpa kepentingan apapun. Ratu Nyai Rambut Kasih konon kabarnya masih keturunan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran yang terkenal di tatar Sunda. Nyai Rambut Kasih masih bersaudara dengan Rarasantang, Kiansantang dan Walangsungsang.
Menurut cerita rakyat, awal mula Nyai Rambut Kasih datang ke Majalengka bermula hendak menemui saudaranya di daerah Talaga. Saudaranya bernama Raden Munding Sariageng suami dari Ratu Mayang Karuna yang waktu itu memerintah di Kerajaan Talaga Manggung.
Di perbatasan Majalengka tepatnya di Talaga, Nyai Rambut Kasih mendengar jika saudaranya sudah masuk Islam. Sehingga dia mengurungkan niatnya menemui saudaranya. Dia singgah di Sindangkasih dan membuat pemerintahan dengan daerahnya meliputi Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong, Babakanjawa, Munjul dan Cijati.
Kembali ke sejarah Kerajaan Sindangkasih. Bila mengacu sumber sejarah ke Cirebon bisa keliru. Hal ini terjadi karena Sindang kasih adalah bagian Kerajaan Sumedang Larang, hingga diserahkannya Sindangkasih ke Cirebon dalam kasus Putri Harisbaya dan Prabu Geusan Ulun. Drama dimulai ketika Raja Sumedang era 1578-1610, Prabu Geusan Ulun, berkunjung ke Cirebon dalam perjalanan pulang dari Kesultanan Pajang yang berpusat di Kartasura, dekat Solo. Pusat pemerintahan dan pendidikan Islam di Jawa kala itu telah dipindahkan dari Demak yang sudah runtuh tahun 1548 ke Pajang – tidak jauh dari Surakarta. Demak dan Pajang adalah penerus Majapahit dari wangsa Mataram.
Di Kraton Cirebon, Geusan Ulun bertemu dengan Ratu Harisbaya yang konon pernah menjadi kekasihnya. Dari situlah cinta lama bersemi kembali walau terlarang. Harisbaya secara diam-diam meminta kepada Geusan Ulun agar membawanya kabur meskipun ia masih istri sah Panembahan Ratu.
Prabu Geusan Ulun mengiyakan permintaan putri Harisbaya. Kemudian, Harisbaya dilarikan ke Sumedang (versi lain, sang putri ngumpet di kereta Geusan Ulun) pada tahun 1585 (Naskah Pustaka Kertabhumi 1-2). Tentu saja peristiwa ini memicu murka Panembahan Ratu yang segera mengirimkan pasukan untuk menyerbu. Konflik ini berakhir dengan perjanjian damai kendati Sumedang Larang harus menyerahkan wilayah Sindangkasih sebelah timu Cilutung sampai muara Cideres ke Kesultanan Cirebon. Penyerahan ini juga dimaksudkan sebagai pengganti talak Panembahan Ratu kepada Harisbaya (Edi S. Ekadjati, eds., Empat Sastrawan Sunda Lama, 1994:88).
Cerita perselisihan antara Cirebon dan Sumedang ini pernah dituliskan oleh beberapa peneliti Barat, termasuk Veth, van Deventer, de Roo da Le Faille, dan juga dari cerita (babad) di Sumedang dan Cirebon dari Kraton Kasepuhan dan Kacirebonan (Asikin Wijayakusuma & R. Mohammad Saleh, Rucatan Sajarah Sumedang, 1960:51).
Mandala Sindangkasih dan Nyi Rambut Kasih
Dari Mandala inilah terlahir orang-orang cerdas berilmu tinggi. Ilmu di sini tidak saja berkaitan dengan ilmu kanuragan (yang sering disalahartikan masyarakat), tetapi juga mengenai ilmu sains terapan. Konon, para raja menjadikan Mandala sebagai "kawah candradimuka" mereka sebelum nyakrawati, menjabat sebagai raja.
Menurut Undang A Darsa, pada zaman sistem pemerintahan kerajaan, lembaga formal pendidikan atau pabrik orang-orang cerdas itu salah satunya adalah mandala. Dengan kata lain, salah satu pengertian mandala adalah lembaga formal pendidikan di Sunda pada masa sistem kerajaan. Dalam kronik lontar Sunda Kuno (abad ke-15-16 Masehi) tercatat ada 73 mandala di Tatar Sunda, dari Ujung Kulon sampai batas Timur Kerajaan Sunda, Cipamali.
Dari 73 Mandala yang disebutkan Undang A Darsa adalah Mandala Sindangkasih. Dimanakah lokasinya? tentu berkaitan dengan sistem kosmologi Sunda yaitu pegunungan, bukit atau dalam bahasa Sunda disebut pasir.
Kami menelusuri jejak Mandala Sindangkasih ini. Lokasi ideal di wilayah Sindangkasih (Majalengka) untuk pegunungan adalah di wilayah Selatan kota Majalengka sekarang. wilayah selatan cenderung berbukit. namun demikian adapula Gunung Tempuh (Gunung Tilu) di utara kota Majalengka. Kami pun menelisik gunung ini. Namun masih belum menemukan bukti keras bahwa di lokasi ini sebagai Mandala.
Meskipun ada petilasan Nyi Rambut Kasih di Desa Sindangkasih, sepertinya tidak menunjukkan bahwa itu wilayah kemandalaan. Wilayah yang kami teliti gunung atau bukit disebelah selatan petilasan. Fokus kami ke Gunung Karang Bentang, Batu Karang dan Gunung Balay.
Dalam sebuah legenda bahwa di Gunung Balay terdapat petilasan Prabu Aji Putih dari Kerajaan Tembong Ageung cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. Benarkah demikian? Menilik wilayah Sumedang sebenarnya tidak jauh dari kota Majalengka, apalagi dari Gunung Balay ini. Sekira 2 km ke arah selatan ada Sungai Cilutung dan diseberang selatan itu adalah Desa Cimaningtim Sumedang. Kok bisa ada petilasannya? Mari kita cermati apa yang dimaksed petilasan dan mengapa dihormati orang Sunda.
Petilasan berasal dari kata "tilas" artinya bekas. Dengan tambahan awalan "pe" dan akhiran "an" menjadi kata benda dalam hal ini penunjuk tempat. Sama halnya dengan "Mandi" jadi "Pemandian", juga serupa dengan "Pemondokan" Dalam ageman Sunda, bekas duduk bahkan bersandarnya orang suci "pamali" alias tabu bagi rakyat untuk duduk atau bersandar di "tilas" orang suci duduk atau bersandar. Hal ini diuraikan secara gamblang dalam Kitab Siksa Kanda Ng Karesian :
...Nyanda di [u]rut sanghyang kalih deuuk di tihang, di kayu, di batu, nyeueung inya anggeus diri disilihan nyanda, ngara[n]na lembu anggasin. Itu kehna ingetkeuneun lamun dek luput ti naraka... artinya : Bersandar pada bekas orang suci duduk pada tiang, pada kayu, pada batu, padahal kita melihatnya dan setelah mereka pergi kita menggantikannya bersandar di situ, disebut lembu menantang. Itu semua perlu diingat kalau ingin terluput dari neraka
Oleh karenanya, semua petilasan selalu dihormati oleh orang Sunda, bahkan hingga beragama Islam pun petilasan para raja dan orang suci kerap diziarahi. Kita bisa mengasumsikan bahwa yang disebut petilasan Nyi Rambut Kasih itu mungkin "tilas calik" waktu bertapa atau bekas bersandar hanya sekedar melepas lelah. Selanjutnya diingat oleh masyarakat jika pembesar/bangsawan pernah ada di situ "She Was Here". Bisa diasumsikan pembentukan petilasan adalah budaya "catatan" tak tertulis mengenai suatu peritiwa bagi anak cucu di wilayah tersebut.
Lalu, siapakah penguasa kemandalaan atau kemudian disebut Kerajaan Sindangkasih? Ada 2 kemungkinan: pertama, Sindangkasih hanya sebuah Kemandalaan atau Kabuyutan saja, bukan kerajaan. Kedua, Sindangkasih memang sebuah kerajaan.
Selain itu, hubungan Mandala Sindangkasih dengan Nyi Rambut kasih kurang data kesejarahannya. Semenatara kita mengetahui sejarah yang mengaitkan Nyi Rambut kasih dengan Sindangkasih sebagai cikal bakal Kota Majalengka. Dikisahkan bahwa Nyi rambutkasih yang membuka atau mendirikan Kerajaan Sindangkasih. Seolah-olah seperti "babad alas" membuka daerah baru. Sebenarnya tidak. Sejak adanya Mandala Sindangkasih, tentunya kelengkapan pranata Kemandalaan dan Rajamandala ini telah lengkap. Jadi tidak "baru saja" dibuka oleh Nyi Rambutkasih. Apalagi "sekedar" mampir dalam perjalanannya menuju Talaga Manggung.
Versi lain menyebutkan bahwa Nyai Rambut kasih debut juga Ratu Ayu Panvidagan atau Panyidagan. Hemmm... sepertinya salah menulis. Kata "panvidagan" atau "Panyidagan" tidak dikenal dalam bahasa Sunda. Mungkin maksudnya "Panyindangan" berasal dari kata "Sindang" artinya Singgah atau mampir. Dekat desa Sindangkasih Majalengka sekarang, terdapat dusun Panyindangan. Sepertinya kata panyindangan lebih cocok diterapakn sebagai Ratu Ayu Panyindangan atau Nyi Rambutkasih.
Nyai Rambut Kasih juga dikenal sebagai sosok ratu yang memerintah negerinya dengan penuh cinta, aman, damai, dan mensejahterakan kehidupan rakyatnya dengan ketulusan tanpa kepentingan apapun. Ratu Nyai Rambut Kasih konon kabarnya masih keturunan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran yang terkenal di tatar Sunda. Nyai Rambut Kasih masih bersaudara dengan Rarasantang, Kiansantang dan Walangsungsang.
Menurut cerita rakyat, awal mula Nyai Rambut Kasih datang ke Majalengka bermula hendak menemui saudaranya di daerah Talaga. Saudaranya bernama Raden Munding Sariageng suami dari Ratu Mayang Karuna yang waktu itu memerintah di Kerajaan Talaga Manggung.
Di perbatasan Majalengka tepatnya di Talaga, Nyai Rambut Kasih mendengar jika saudaranya sudah masuk Islam. Sehingga dia mengurungkan niatnya menemui saudaranya.
Kerancuan Sejarah
Mencermati penyerahan wilayah Sindangkasih ke kesultanan Cirebon pada tahun 1585 atas peristiwa putri Harisbaya dengan Prabu Geusan Ulun, raja Kerajaan Sumedang Larang.
Jika merujuk pada catatan kesultanan Cirebon sebagaimana tertulis dalam naskah-naskah Cirebon, -Carita Purwaka Caruban Nagari, diketahui bahwa memang Kerajaan Sindangkasih ini pernah ada, Nyai Rambut Kasih pun ada, akan tetapi Kerajaan Sindangkasih itu terletak di Wilayah Beber, sekarang menjadi Desa Sindangkasih. Benarkah? sedangkan pada peristiwa asmara di atas Sindangkasih adalah di timur cilutung sampai cideres, bukan Beber Cirebon. Jika Kerajaan Sindangkasih di Beber yang notabene sudah masuk Kesultanan Cirebon, untuk apa lagi diserahkan ke Cirebon. Masak iya, Sumedang Larang menyerahkan wilayah yang bukan di bawah kekuasannya. Jadi, sangat terlihat kerancuannya. Sebagai penjelasana tambahan: yang diserahkan Sindangkasih (maksudnya kota atau kecamatan Majalengka), bukan Kabupaten Majalengka. Alasannya Mandala Sindangkasih di sebelah Tenggara dibatasi Mandala Bitunggiri yang telah berubah menjadi Kerajaan Talaga Manggung. dan di Timur Laut berbatasan dengan Kerajaan Rajagaluh. Sibagian Selatan Mandala Sindangkasih berbatasan dengan Cilutung dan Mandala Tembong Agung (Kerajaan Tembong Agung lalu berubah menjadi Mandala Himbar Buana). Di bagian Utara Mandala Sindangkasih dibatasi Mandala Wanagiri (Palimanan) yang juga bermetamorfosis menjadi Kerajaan Wanagiri dan Singhapura (Sing Apura) Cirebon.
Sumber lainnya seperti Naskah Mertasinga, Naskah ini menceritakan mengenai berakhirnya atau runtuhnya kerajaan Sindangkasih, diceritakan Sindangkasih runtuh karena diserang oleh Cirebon, adapun yang melakukan penyerangan (Panglima Perang) adalah Ki Gede Susukan dan Ki Gede Tegal Gubung, masa keruntuhan kerajaan Sindangkasih dalam naskah tersebut ketika Cirebon diperiniah Sunan Gunungjati.(historyofcirebon.id). Naskah tersebut memang tidak menampilkan tahun, akan tetapi sebagaimana kita ketahui bahwa Sunan Gunungjati dalam sejarah diketahui memerintah Cirebon dari Tahun 1479-1495, dengan demikian maka dapatlah dipahami bahwa Sindangkasih dipastikan runtuh antara tahun-tahun dimana Sunan Gunungjati menjabat sebagai Sultan Cirebon yaitu pada abad ke 15 Masehi. Kritik atas naskah ini dapat dikonfrontir dengan 'kasus asmara' di atas. Data tahun penyerahan Sindangkasih oleh Sumedang pada tahun 1585 tidak cocok dengan masa pemerintahan Sunan Gunung Jati 1479-1495. Rancu lagi!
Berkaitan dengan penyebaran Islam oleh Pangeran Muhammad dan Istrinya Raden Siti Armilah. Hingga dikisahkan bahwa "menghilangnya" buah Maja yang dicari mereka di Sindangkasih terjadi pada tahun 1480 M.
Menurut cerita rakyat, awal mula Nyai Rambut Kasih datang ke Majalengka bermula hendak menemui saudaranya di daerah Talaga. Saudaranya bernama Raden Munding Sariageng suami dari Ratu Mayang Karuna yang waktu itu memerintah di Kerajaan Talaga Manggung. Di perbatasan Majalengka tepatnya di Talaga, Nyai Rambut Kasih mendengar jika saudaranya sudah masuk Islam. Sehingga dia mengurungkan niatnya menemui saudaranya. Bernarkah kisah ini? bila kisah ini tidak benar, darimanakah berasal? seolah-olah Nyi Rambutkasih sangat membeci Islam. Stop dulu.... ia menemui saudaranya di Talaga Manggung yaitu Raden Munding Sari Ageung. Beliau adalah ayah dari Raden Rangga Mantri (Prabu Pucuk Umum/umun) suami Ratu Parung (Ratu Dewi Sunyalarang), putrinya Sunan Parung. Jadi sebenarnya yang mau ditemui itu bukan penguasa Talaga Manggung, tetapi besannya Sunan Parung, yaitu Raden Munding Sari Ageung yang belum tentu berkedudukan di Talaga. Mengingat Raden Munding Sari Ageung (1521) adalah turunan Pajajaran. Bila kisahnya benar, berarti saat itu Raden Munding Sari Ageung sedang atau berkedudukan di Talaga (?). Hrusnya mendatangi Talaga menemui Raden Rangga Mantri (Prabu Pucuk Umum), buka Raden Munding Sari Ageung. Pada tahun 1529 Ratu Parung dan Raden Rangga Mantri mengucapkan syahadatain, masuk agama Islam, melalui dakwah Sunan Gunung Djati yang dibantu para dai Cirebon. Selanjutnya Sunan Gunung Djati (Syaikh Syarif Hidayatullah) memberikan gelar Prabu Pucuk Umum Talaga kepada Raden Ragamantri sebagai bentuk penghormatan kepada beliau dan keluarga besar Talaga. Ini sangat tumpang tindih sekali. Disebutkan bahwa Nyi Rambut Kasih istri Prabu Siliwangi (Asumsinya Prabu Pamanahrasa/Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi yang berkedudukan di Pajajaran). Jika demikian, seharusnya Kian Santang, Walangsungsang dan Rara Santang adalah "anak-anaknya" dari istri yang lain. Mengingat ibu mereka adalah Nyi Subang Larang yang juga istri Prabu Siliwangi. Konon total istri Prabu Siliwangi berjumlah 151 orang.
Kisah asal-usul Majalengka disertai dengan proses peng-Islam-an dari Cirebon dibawah pimpinan Pangeran Muhammad dan Istrinya Siti Armilah. Alur kisahnya ditulis dalam naskah-naskah Cirebon, seperti Babad Cirebon dan Naskah Mertasinga. Menurut penulis, naskah-naskah itu lebih bersifat "Pujasatra". Artinya menjungjung sang tokoh setempat. Ini dilakukan untuk menggambarkan bagaimana susahnya meng-Islamkan Majalengka hingga harus bertarung dahulu dengan penguasa setempat. Dan... kita sudah tahu endingnya bahwa sang tokoh utama pasti menang. Lalu yang dikalahkan akan moksa, ngahiyang atau menghilang. Banyak kisah peng-Islaman atau pertarungan setelah kedua pihak beragama Islam dengan penggambaran berlebihan. Misalnya pertarungan hingga 40 hari 40 malam, ngapung jeung nerus bumi (terbang dan menembus bumi). Meskipun hal itu bukan mustahal atas izin Allah yang Maha Kuasa, namun cerita ini berupa Pujasastra (hanya puja dan puji). Kisah ini mirip dengan peng-Islaman di berbagai tempat di Tatar Pasundan (Jawa barat), termasuk peng-Islaman Maharaja Prabu Siliwangi oleh Kian Santang (?). Kisah epik ini diragukan kebenarannya, terutama berkaitan dengan pertempuran. Dari sisi positif, penulis menganggap mungkin ini bentuk kearifan lokal untuk tetap memosisikan yang dikalah agar tetap merasa terhormat.
Bila mengislamkan wilayah Sindangkasih dengan adanya pertempuran terasa janggal tanpa keterlibatan kerajaan Sumedang Larang. Pada peristiwa Putri Harisbaya dan Prabu Geusan Ulun, Sindangkasih sangat jelas merupakan wilayah kedaultan kerajaan Sumedang Larang. Pertanyaan yang sangat menggelitik adalah apakah Kerajaan Sumedang Larang akan berdiam diri saat wilayahnya diserang pasukan Cirebon? atau sebenarnya serangan ini tidak pernah terjadi. Penulis yakin penyebaran agama Islam di Sindangkasih berjalan secara damai. Apalagi jika di wilayah tersebut terdapat Mandala yang notabene dipimpin rajamandala atau Guru Resi yang sangat paham ajaran agama. Guru Resi Wang Ungkara sepertinya dengan damai mempersilahkan penyebaran agama Islam di Sindangkasih, demikian pula di Kerajaan Talaga Manggung yang terdapat 2 kemandalaan (Mandala Bitunggiri dan Mandala Puwa Talaga). Kisah kerajaan Talagamanggung pun dikisahkan bahwa Talaga Manggung tunduk dan menyerah kepada Cirebon dalam naskah-naskah dari Cirebon. Untuk hal ini, pihak keluarga Kerajaan Talaga Manggung (Museum Talaga Manggung) keberatan dengan kisah ini. Pada tahun 1529 Ratu Parung dan Raden Rangga Mantri mengucapkan syahadatain, masuk agama Islam, melalui dakwah Sunan Gunung Djati yang dibantu para dai Cirebon. Selanjutnya Sunan Gunung Djati (Syaikh Syarif Hidayatullah) memberikan gelar Prabu Pucuk Umum Talaga kepada Raden Ragamantri sebagai bentuk penghormatan kepada beliau dan keluarga besar Talaga.
Sosok Pangeran Muhammad dan Siti Armilah kurang jelas. Bila kita mampu mengidentifikasi secara tepat siapakah Pangeran Muhammad dan Siti Armilah, kita dapat menelusuri sejarhnya dari Kerajaan Sumedang Larang. Dalam buku-buku dari masa Kolonial Belanda, sering menyebutkan penyebar agama Islam di Sindangkasih dan Talaga adalah Syech Moelana.
Di perbatasan Majalengka tepatnya di Talaga, Nyai Rambut Kasih mendengar jika saudaranya sudah masuk Islam. Sehingga dia mengurungkan niatnya menemui saudaranya.
Sepertinya kisah ini salah waktu. Sangat diragukan jika pada masa akhir kerajaan Pajajaran dan telah eksisnya Kerajaan Sumedang Larang seolah-olah pihak Kerajaan Pajajaran "alergi" dengan Islam. Kita mengetahui bahwa Prabu Siliwangi mempersunting Nyi Subang Larang menjadi istrinya yang beragama Islam. Anak-anak Prabu Siliwangi dari Nyi Subang Larang beragama Islam dan menjadi raja-raja Cirebon.
Sindangkasih sebagai bagian dari Kerajaan Sumedang Larang yang sudah menganut agama Islam sangat aneh jika Sindangkasih "hanya" membeci Cirebon tetapi tidak ke kerajaan Sumedang Larang. Kisah ini perlu dicermati adanya muatan-muatan kebencian. :Lebih aneh lagi 4 Kandaga Lante dari Pajajaran yang membawa Sanghyang Pake, pakaian serta mahkota raja Siliwangi kepada Prabu Geusan Ulun yang beragama Islam. kemudian Geusan Ulun dilantik menjadi Raja Penerus kerajaan Pajajaran. Aneh bukan jika 4 kandage lante tetap beragama Hindu-Buddha sementara rajanya Islam? Faktanya 4 Kandaga Lante tersebut membela Prabu Geusan Ulun hingga akhir hayatnya.
Citra seolah "perang agama" sepertinya sangat kental dihembuskan dalam kasus penyebaran Islam di (Mandala) Sindangkasih termasuk kerajaan Talaga Manggung. Sebenarnya tidak pernah terjadi perang ketika penyebaran agama. Yang terjadi adalah perselisihan hingga peperangan ketika raja-raja di Tatar Pasundan sudah memeluk agama Islam. Perang antara Mataram dan Banten terjadi ketika kedua negara ini beragama Islam. Termasuk penyebaran Islam di wilayah Sindangkasih (Kerajaan Sumedang Larang) tidak dengan perang, mengingat Raja Sumedang Larang telah menghadap ke Sultan Agung di Mataram menyatakan bahwa Sumedang Larang bagian dari Mataram. Jadi bukan proses Islamisasi. Perang-perang yang terjadi adalah perbutan kekuasaan. Rancu lagi.
Kesimpulan
Beberapa naskah yang ada menunjukkan karya naskah pujasastra, artinya sebagai karya yang berisi puja-puji serta sanjungan kepada raja dalam epik kepahlawanan heroisme. Di dalamnya dibumbui dengan melebih-lebihkan peristiwa yang bersifat hiperbolik. Kisah pertarungan hingaa 40 hari 40 malam adalah salah satu contoh diantaranya.
Kesinambungan dan kecocokan dari sumber lain adalah informasi penting dalam menyusun puzzle yang terserak demi menyusun satu sejarah utuh dan sempurna. Namun demikian, kebenaran historis masih berifat relatif yang setiap saat dapat direvisi demi menciptakan fakta sejarah yang mendekati kebenaran.
Referensi :
- Ternyata Klaim Kerajaan Sindangkasih Terletak Di Majalengka Adalah Palsu historyofcirebon.id
- Atja. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
- Supratikno Rahardjo. 2002. ‘’Peradaban Jawa: dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir’’. Depok: Komunitas Bambu.
- Rahman, Nurhayati., dan Sri Sukesi Adiwimarta. 1999. "Antologi sastra daerah Nusantara: cerita rakyat suara rakyat" Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Luthfiyani, Lulu (2017). Kamus Genggam Bahasa Sunda. Yogyakarta: Frasa Lingua. ISBN 978-602-6475-27-5.
- Ekadjati, Edi S. 2005. Kebudayaan Sunda. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya & UNPAD PRESS.
- Ekadjati, Edi S dan Undang A. Darsa. 2002. Katalog Induk Naskah Nusantara Koleksi Lima Lembaga. Bandung: Yayasan Obor Indonesia.
- Wolters, O.W. History, Culture and Region in Southeast Asian Perspectives. Institute of Southeast Asian Studies, 1982. ISBN 0-87727-725-7
- Wolters, O.W. History, Culture and Region in Southeast Asian Perspectives. Institute of Southeast Asian Studies, Revised Edition, 1999.
- Dellios, Rosita (2018-04-12). "Mandala: from sacred origins to sovereign affairs in traditional Southeast Asia" CEWCES Research Papers: Centre for East-West Cultural and Economic Studies pdf
Post a Comment